Berbicara tentang thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu), maka sang santri wajib tidak dapat lepas dari marja’ (referensi/rujukan) yaitu kitab/buku yang membahas kajian ilmu yang dipelajari, why? Karena tanpa kitab, santri akan kesulitan dalam mendalami ilmu dan hanya mengandalkan sima’I (mendengar) dari ustadz/kiai/tuan guru. Itupun kalau kepintarannya selevel imam Bukhari yang mampu menghafal ribuan hadits hanya mengandalkan sima’I dari gurunya. Oleh karena itu, tidaklah lengkap rasanya kita ini belajar tanpa pendamping, apa itu? Yaitu kitab.
Berbicara tentang kitab, penulis mau mengajak anda
menyelami sejarah pembuatan kitab. Ayo kita seluncur ke lubang sejarah!
KITAB KUNING,
WARISAN KEBANGGAAN PENUNTUT ILMU DAN UMAT ISLAM
Berbicara tentang kitab kuning, bagi kalangan
santri, kitab kuning sudah tidak asing bagi mereka, karena wajib di pesantren
dikaji kitab-kitab kuning. Terus, apa sih kitab kuning itu? Kitab yang warnanya
kuning gitu.
Pembaca yang mulia, dahulu para ulama telah
mencurahkan perhatian mereka kepada ilmu agama dengan luar biasa. Kita tentu
tidak asing lagi dengan perjuangan empat imam madzhab (Imam Syafi’I, Ahmad bin
Hanbal, Malik bin Anas, dan Abu Hanifah) dalam berijtihad terhadap suatu
permasalahan agama. Kita juga tidak asing dengan perjuangan para ulama dalam
perlawanan mereka terhadap ahlul bid’ah dan ahlul kalam seperti perjuangan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menumpas kesesatan kelompok-kelompok sesat.
Banyak cara dilakukan oleh para ulama kita dalam mencurahkan perhatian mereka
terhadap ilmu dan perlawanan mereka terhadap ahlul bathil dan bid’ah seperti
dengan mengadakan majelis bahtsul masail (membahas permasalahan agama),
menyeru manusia menuju jalan kebenaran, bahkan para ulama kita juga mencurahkan
perhatian mereka dengan mengarang karya tulis ilmiah lagi agamis dengan
pena-pena mereka sampai ribuan lembar dari berbagai ilmu-ilmu keagamaan hingga
bertebarlah karya tulis mereka ke segala penjuru sekalipun mereka telah
meninggalkan dunia ini. Bahkan kitab-kitab mereka sebagian besar telah
dijadikan sebagai mu’tamad/marja’ (referensi) dalam pengkajian ilmu-ilmu
keagamaan seperti contoh kitab-kitab hadits yang dikarang para ulama hadits
yang mana berjuluk kutubuttis’ah yaitu Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan At-Tirmidzi,Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu
Dawud, Sunan An-Nasai, Musnad Imam Ahmad, Muwatha’ Imam Malik,
dan Sunan Ad-Darimi, dalam ilmu fikih dan ushulnya yaitu kitab Al-Umm
karya Imam Syafi’I, kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Muhalla
karya Ibnu Hazm, kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab dan Raudhatut
Thalibin karya Imam Nawawi, kitab Nailul
Authar karya Imam Asy-Syaukani, kitab Fiqhus Sunnah karya monumental
Sayyid Sabiq, dan lain-lain. Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, yaitu kitab Tafsir
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari,
Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir
Al-Baghawi, dan Tafsir Mafatihul Ghaib. Dalam syarh (tafsir) kitab
hadits seperti kitab Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu
Hajar, Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi, kitab Jami’ul Ulum wal
Hikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali, dan masih banyak kitab-kitab mu’tamad
lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.
Karena itulah, kita sebagai umat Islam khususnya
dari kalangan penuntut ilmu agama harus bangga dengan warisan ulama yang
berharga ini yang mana Allah telah menjaga warisan para ulama ini sejak ribuan
tahun lalu dan tidak ada warisan yang lebih berharga daripada warisan para
ulama dan ilmu para ulama merupakan warisan para Nabi.
bagaimana adab membaca kitab? berikut ini adalah adab-adabnya di episode berikutnya. selamat membaca !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar