Resensi Kitab Tafsir Al-Qur’an karya Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar


Siapa yang tidak tahu novel Tenggelam Kapal Var Der Wijk dan Di Bawah Lindungan Ka’bah? Dua novel yang telah membahana di kalangan bangsa Indonesia dan telah diangkat menjadi film ini merupakan karya salah seorang alim ulama di negeri kita tercinta yang mana beliau adalah di antara tokoh pergerakan bangsa Indonesia dan Muhammadiyah dan merupakan ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Siapa lagi kalau bukan Buya Hamka.

Pada edisi serial resensi kitab-kitab tafsir karya ulama Nusantara, kita akan menyimak salah satu di antara karya beliau di bidang agama, di samping beliau telah mengarang buku novel yang membuat baper para pembaca, hehehe. Di antara karya tulis beliau di bidang agama yang blogger liris pada edisi kali ini adalah karya tulis beliau dalam bidang tafsir Al-Qur’an yang berjudul Tafsir Al-Azhar. Mau tahu isinya bagaimana? Check this out!

Siapakah Buya Hamka?

Biografi Buya Hamka telah blogger ulas di pembukaan tadi. Tetapi, nggak apalah kita kupas sedikit tentang beliau.

Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama Buya Hamka lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun. Beliau adalah salah satu alim ulama dan sastrawan di tanah air. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam dunia politik melalui Masyumi (Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang merupakan partai politik Islam terbesar di Indonesia. selama era Demokrasi Liberal atau orde lama pada masa presiden Soekarno, beliau aktif di partai tersebut sampai partai tersebut dibubarkan. Beliau menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama dan aktif dalam organisasi Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Universitas Al-Azhar Mesir dan Universitas Nasional Malaysia menganugrahkannya gelar doctor kehormatan. Sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah yang terletak di Jakarta dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional.

Adapun tentang karya tulis beliau, beliau adalah penulis yang produktif yaitu penulis yang banyak menghasilkan karya tulis, baik dalam bidang sastra maupun dalam bidang agama. Karya tulis beliau berjumlah 79 karya. Di antara karya-karya tulis beliau adalah Khathib Ummah jilid 1-3 yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab, Layla Majnun, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tasawuf Modern, Islam dan Demokrasi, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, Mengembara ke Lembah Nil, Di Tepi Sungai Dajlah, Islam dan Kebatinan, Ekspansi Ideologi Islam, Urat Tunggang Pancasila, Adat Minagkabau Menghadapi Revolusi, Muhammadiyah di Minangkabau, dan karyanya yang begitu masyhur yang kita akan bahas pada edisi kali ini, yaitu Tafsir Al-Azhar 1-30, dan masih banyak lagi karya-karya tulis beliau yang tidak dapat ditulis semuanya pada edisi ini.

Jika pembaca ingin mengetahui biografi beliau lebih lengkap, silahkan dibaca di sini.

Kisah Penulisan Tafsir Al-Azhar


Tafsir beliau ini mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan pada kuliah subuh oleh Hamka di masjid Al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru sejak tahun 1959. Ketika itu, masjid belum bernama Al-Azhar. Pada waktu yang sama, Hamka, KH. Fakih Utsman dan H.M. Yusuf Ahmad menerbitkan majalah Panji Masyarakat.

Baru kemudian, nama Al-Azhar bagi masjid tersebut diberikan oleh Syaikh Mahmud Syalthut, rektor Universitas Al-Azhar semasa kunjungan beliau ke Indonesia pada bulan Desember tahun 1960 dengan harapan supaya menjadi kampus Al-Azhar di Jakarta. Penamaan tafsir Hamka dengan nama Tafsir Al-Azhar berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu Masjid Agung Al-Azhar.

Terdapat beberapa faktor yang mendorong Hamka untuk menghasilkan karya tafsir tersebut. hal ini dinyatakan sendiri oleh Hamka dalam mukaddimah kitab tafsirnya. Di antaranya ialah keinginan beliau untuk menanamkan semangat dan kepercayaan Islam dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk  memahami Al-Qur’an, tetapi terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai ilmu bahasa Arab. Kecenderungan beliau terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman para muballigh (penceramah agama) dan para pendakwah serta meningkatkan keberkesanan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil dari sumber-sumber berbahasa Arab. Hamka memulai tafsir Al-Azharnya dari surat Al-Mukminun karena beranggapan kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya.

Mulai dari tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di masjid Al-Azhar ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai terjadi kekacauan politik dimana masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan Hamkaisme. Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1383 H/ 27 Januari 1964, Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat kepada negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa berkah bagi Hamka karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya.

Penerbitan pertama Tafsir Al-Azhar dilakukan oleh penerbit Pembimbing Masa, pimpinan Haji Mahmud. Pada cetakan pertama, kitab ini diterbitkan dari juz pertama sampai juz keempat. Kemudian diterbitkan pula juz 30 dan juz 15 sampai juz 29 oleh Pustaka Islam Surabaya dan akhirnya juz 5 sampai juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.

Bagaimana metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dalam tafsir Al-Azhar dan termasuk aliran apa tafsir Al-Azhar ini?

1.Menurut Sumber Penafsiran

Buya Hamka menggunakan metode tafsir bi al-Iqtiran karena penafsirannya tidak hanya menggunakan Al-Qur’an, hadits, pendapat shahabat dan tabi’in, serta riwayat dari kitab-kitab tafsir al-Mu’tabarah (rujukan atau teranggap di kalangan ulama dan penuntut ilmu) saja, tetapi juga memberikan penjelasan secara ilmiah (ra’yu), apalagi yang terkait dengan masalah ayat-ayat kauniyah. Hamka tidak pernah lepas dengan penggunaan metode tafsir bi al-Ma’tsur saja, tetapi beliau juga menggunakan metode tafsir bi ar-Ra’yi yang mana keduanya dihubungkan dengan berbagai pendekatan-pendekatan umum, seperti bahasa, sejarah, interaksi sosio-kultur dalam masyarakat, bahkan beliau juga memasukkan unsur-unsur keadaan geografi suatu wilayah, serta memasukkan unsur cerita masyarakat tertentu untuk mendukung maksud dari kajian tafsirnya.

Meskipun Hamka menggunakan pandangan-pandangan beliau dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, akan tetapi hal itu tidak menyebabkan makna ayat-ayat Al-Qur’an menjadi rusak, bahkan dalam memberikan pandangan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, beliau tetap merujuk ke pendapat para mufassirin (ahli tafsir). Salah satu pakar tafsir Al-Qur’an lulusan Universitas Al-Azhar Mesir, Dr. Fahmi Salim Zubair, MA berpendapat bahwasannya Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka ini sebenarnya tidak menggunakan metode Hermeneutika.

Dalam mukaddimah Tafsir Al-Azhar, Hamka sempat membahas kekuatan dan pengaruh karya-karya tafsir yang dirujuknya, seperti Tafsir Ar-Razi, Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari, Ruh Al-Ma’ani karya Al-Alusi, Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an karya Al-Qurthubi, Tafsir Al-Maraghi, Al-Qasimi, Al-Khazin, Ath-Thabari, dan Tafsir Al-Manar.

2.Menurut Cara Penjelasannya

Hamka menggunakan metode muqarin yaitu tafsir berupa penafsiran sekelompok ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara dalam suatu permasalahan dengan membandingkan antara ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits dan dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu antara objek yang dibandingkan dengan cara memasukkan penafsiran dari ulama tafsir yang lain.

3.Menurut Keluasan Penjelasan

Hamka menggunakan metode tafshili yaitu metode menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan urutan-urutan ayat secara ayat per-ayat, dengan suatu uraian yang terperinci, tetapi jelas dan ia menggunakan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat awam maupun masyarakat terpelajar.

4. Corak Yang Dipakai

Corak yang mendominasi dalam penafsiran Hamka adalah laun adabii wa ijtima’i  (gaya sastra) yang nampak terlihat dari latar belakang beliau sebagai seorang sastrawan sehingga beliau berupaya agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang dapat dipahami oleh semua kalangan dan bukan hanya di tingkat kalangan akademisi dan ulama. Di samping itu, beliau memberikan penjelasan berdasarkan kondisi sosial yang sedang berlangsung (pemerintah Orde Lama) dan situasi politik waktu itu.

Adapun terkait kisah Israiliyyat, beliau memberikan penjelasan bahwa itu adalah dinding yang menghambat orang dari kebenaran Al-Qur’an. Kalau di dalam tafsir ini ditemukan riwayat-riwayat Israiliyyat, maka tidak lain hanyalah sebagai peringatan saja.

Bagaimana komentar terhadap kitab Tafsir Al-Azhar?

Ciri khas Buya Hamka yang menarik adalah, beliau tidak pernah menimba ilmu di Timur Tengah secara formal, tetapi beliau mampu menafsirkan Al-Qur’an yang standar dengan tafsir-tafsir yang ada di dunia Islam. secara sosio-kultural, Tafsir Al-Azhar penuh dengan sentuhan problem-problem umat Islam di Indonesia dan juga men-zhahir-kan (menampakan) upaya mufassir (ahli tafsir) dalam mengetengahkan corak pemikiran dan penafsiran yang kontemporer (kekinian).

Berikut ini adalah pendapat para ulama mengenai tafsir ini:

1.Abu Syakirin menegaskan: “Tafsir Al-Azhar merupakan karya Hamka yang memperlihatkan keluasan pengetahuan dan hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi.”

2.Moh. Syauqi Md Zhahir: “Tafsir Al-Azhar merupakan kitab tafsir Al-Qur’an yang lengkap dalam bahasa Melayu yang boleh dianggap sebagai yang terbaik pernah dihasilkan untuk masyarakat Muslim Melayu.”

Bagaimana keistimewaan kitab tafsir ini?

1.Diawali dengan pendahuluan yang berbicara tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an seperti definisi Al-Qur’an, Makkiyah dan Madaniyah, Nuzul Al-Qur’an, pembukuan mushhaf, haluan tafsir, sejarah Tafsir Al-Azhar, dan i’jaz (kemukjizatan).

2.Menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu sehingga memudahkan pembaca Indonesia memahami tafsirannya.

3.Beliau tidak hanya menafsiri ayat Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan bahasa,ilmu-ilmu sosial,dan ilmu Ushul Fiqih saja, tetapi juga dengan bidang yang lain.

4.Selektif  terhadap pendapat dari sahabat atau ulama tentang suatu pembahasan karena beliau akan tetap menolak pendapat mereka jika bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits.

Setiap buku pasti memiliki kekurangan atau kelemahan, apakah hal itu terjadi di kitab tafsir karya Buya Hamka yang monumental ini?

Pastinya, ada kekurangan di setiap buku di muka bumi ini, tidak terkecuali kitab tafsir yang sekarang kita bahas ini. Perlu pembaca ketahui, bahwasannya yang menganalisis kelemahan kitab tafsir ini bukan blogger, melainkan peneliti tafsir yang menganalisis kelemahan kitab ini yang mana blogger hanya mencantumkannya untuk pembaca:

1.Yang dicantumkan terkadang hanya arti hadits saja tanpa mencantumkan teks haditsnya dan terkadang juga tidak ditemukan sumber haditsnya. Contohnya seperti “…..Hadits Abu Hurairah secara umum menyuruh takbir apabila imam telah takbir dan berdiam diri apabila imam telah membaca Al-Fatihah. Inipun umum. Maka dikecualikan dia oleh hadits ‘Ubadah tadi, yang menegaskan larangan Rasulullah membaca apapun, kecuali Al-Fatihah (tanpa teks hadits berbahasa Arab dan mukharrij-nya/ yang mengeluarkan hadits tersebut)

2.Bahasa yang digunakan dalam menafsirkan dan menjelaskan tentang suatu pembahasan terkadang tidak mengikuti kaedah EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) karena masih bercampur antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu.

Referensi:

Metode Penafsiran Buya Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar, Aviv Alviyah, STAI Sunan Drajat Lamongan.




ditulis oleh Muhdarul Islami Zarnuji




Silahkan dibaca tulisan blogger lainnya:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar