Kita sebagai umat Islam Indonesia
sepatutnya bangga, why? Karena ternyata negeri kita tercinta merupakan rumah
bagi ulama-ulama ternama yang tak kalah pamornya dan tak kalah keilmuannya
dibandingkan dengan para ulama Timur Tengah. Tidak hanya itu, ulama-ulama kita yang
terkenal dan ilmunya masya Allah mantep pisan juga merupakan pengarang
kitab-kitab ternama yang menjadi rujukan penting umat Islam.
Nah, pada edisi serial resensi
kitab-kitab tafsir karya ulama Nusantara, kita akan mengkaji suatu kitab tafsir
karya ulama Nusantara yang mana kitab ini dikarang dengan bahasa Arab (hebat
tenan) dan kitab ini boleh diadu dengan kitab-kitab tafsir ulama
kontemporer terkenal seperti Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Munir
karya Syaikh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir As-Sa’di karya Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir
al-Manar karya Syaikh Muhammad
Rasyid Ridha, de el-el. Kitab tafsir tersebut berjudul lengkap Tafsir Marah
Al-Labid li Kasyf Al- Ma’na Al-Qur’an Al-Majid
karya Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897).
Mau tahu nggak biografi tentang
penulis kitab tafsir ini?
Mungkin anda terkaget-kaget plus
tidak percaya dengan beliau, why? Karena beliau adalah ulama Nusantara yang
memiliki kiprah luar biasa di tanah suci Makkah dan menghabiskan hidupnya di
sana. Siapa beliau? Sebagaimana yang telah blogger sebutkan namanya yaitu
Syaikh Nawawi al-Bantani.
Bernama lengkap Abu Abdul Mu’thi Muhammad
Nawawi Ibn ‘Arabi at-Tanara al-Jawi al-Bantani atau lebih dikenal dengan nama
an-Nawawi al-Bantani, beliau lahir di desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Tanara,
kabupaten Serang, Banten pada tahun 1230 H/1813 M dan meninggal di Mekkah, Arab
Saudi pada tahun 1314 H/1897 M . Beliau adalah ulama Indonesia bertaraf
Internasional yang menjadi Imam Masjidil Haram. Beliau bergelar al-Bantani
karena berasal dari Banten, Indonesia. Beliau adalah sosok intelektual yang
produktif menulis banyak kitab. Jumlah karya tulisnya tidak kurang dari 115
kitab yang meliputi bidang ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadits.
(Allahu Akbar)
Karena kemasyhurannya, Syaikh Nawawi
dijuluki Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz), al-Imam
al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang Mumpuni Ilmunya), A’yan
Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad 14 Hijriyah),
hingga Imam Ulama al-Haramain (Imam Ulama Dua Kota Suci).
Beliau merupakan generasi ke-12 dari
Sultan Maulana Hasanuddin, raja pertama Kesultanan Banten dan putra Sunan
Gunung Jati, salah satu Wali Songo (Para Penyebar Agama Islam di Pulau Jawa)
yang mana, beliau menyebarkan Islam di daerah Cirebon, Jawa Barat. Nasabnya
melalui jalur Kesultanan Banten sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Ayah Syaikh Nawawi merupakan ulama
lokal di Banten, yaitu Syaikh Umar bin ‘Arabi al-Bantani, sedangkan ibunya
bernama Zubaedah, seorang ibu rumah tangga biasa.
Sejak berusia lima tahun, Syaikh
Nawawi sudah mulai belajar ilmu agama langsung dari ayahnya. Bersama
saudara-saudara kandungnya, beliau mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa
Arab, fiqih, tauhid, al-Qur’an dan tafsir. Pada usia delapan tahun bersama
kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, beliau berguru kepada KH. Sahal, salah seorang
ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian beliau melanjutkan kegiatan menimba
ilmu kepada Syaikh Baing Yusuf Purwakarta.
Di usianya yang belum genap lima
belas tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang, sampai kemudian ia
mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya
yang kian hari makin bertambah. Baru setelah usianya mencapai lima belas tahun,
Syaikh Nawawi menunaikan haji dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama
masyhur di Mekkah saat itu. Di antara guru-gurunya yang terkenal adalah Syaikh
Ahmad Zaini Dahlan (mufti Madzhab Syafi’i di Masjidil Haram), Syaikh Yusuf bin Muhammad Arsyad al-Banjari (anak dari
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, ulama fiqih Madzhab Syafi’i yang berasal
dari Banjar, Kalimantan Selatan), dan Syaikh Abdush Shamad bin Abdurrahman
al-Falimbani (ulama Mekkah yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan).
Beliau juga belajar kepada ulama-ulama negeri Syam.
Akhirnya, Syaikh Nawawi menjadi
pengajar di Masjidil Haram. Beliau menetap di Mekkah dari tahun 1855 sampai
akhir hayatnya. Akan tetapi, beliau mengajar di Masjidil Haram dalam waktu
senggang karena beliau memiliki kesibukan ilmiah lainnya, yaitu menulis
karya-karya tulis. Beliau mengajar di Masjidil Haram dari tahun 1860-1870.
Setelah tahun 1870, beliau memusatkan aktifitasnya untuk menulis.
Beliau menjadi masyhur di sana dan
karya-karya tulisnya banyak beredar, terutama di negeri-negeri yang menganut
paham Syafi’iyyah. kitab tafsirnya yang berjudul Murah Labid yang akan
kita kaji resensinya diterbitkan di Kairo dan sangat terkenal plus diakui
keunggulan mutunya karena memuat persoalan-persoalan penting hasil diskusi
perdebatannya dengan ulama al-Azhar. Pada kitab tafsirnya cetakan Kairo,
dipajang julukan namanya “ Sayyid Ulama Hijaz”.
Adapun murid-muridnya adalah: KH.
Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama/NU), KH. Khalil Bangkalan Madura, dan KH.
Asnawi dari Caringin.
Beliau wafat pada tanggal 25 Syawwal
1314 di usia 84 tahun dan dimakamkan di Ma’la dekat makam Khadijah, istri
pertama Rasulullah SAW.
Yuk kita langsung saja to the point!
# Kenapa dinamakan tafsir Marah
Labid?
Dalam kitab Lisan al-Arab
karya Ibnu Manzur yang merupakan kamus bahasa Arab, kata Marah diartikan
sebagai tempat yang biasa digunakan oleh suatu kaum untuk menjadi tempat
keberangkatan dan kepulangan mereka secara bersama-sama dalam suatu perjalanan.
Sedangkan kata Labid bisa berarti menempel, melekat, dan tidak dapat
dipisahkan. Kata ini juga berarti burung yang kakinya terikat (bertengger) di
bumi, hampir tidak mau terbang, kalau tidak ada yang menghalaunya.
Kata al-Marah dan al-Labid
merupakan kata benda, Marah berarti tempat ketinggian dan kepulangan
suatu kaum, sedangkan al-Labid berarti kelompok makhluk dan lainnya yang
tidak mau meninggalkan asalnya. Dengan demikian ungkapan Marah Labid
dalam judul tafsir bila dihubungkan dengan dunia pada abad ke-19, maka dapat
dipahami bahwa tafsir Marah Labid mencoba memberikan jalan keluar bagi
masyarakat Islam yang masih kuat mempertahankan Islam tradisional.
# Bagaimana latar belakang penulisan
kitab tafsir ini?
Kitab tafsir Marah Labid
karya Syaikh Nawawi al-Bantani ini terhitung sebagai kitab tafsir yang sangat
istimewa karena kitab ini adalah karya tulis dalam bidang tafsir al-Qur’an yang
pertama yang ditulis dalam bahasa Arab secara lengkap oleh ulama Nusantara.
Selain itu, kitab ini juga tercatat sebagai salah satu kitab-kitab tafsir yang disusun pada abad ke-19 M di dunia Islam (selain Tafsir Al-Manar karya Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha).
Syaikh Nawawi dalam kitab tafsirnya
ini menjelaskan latar belakang penulisan kitabnya ini, yaitu dikarenakan
dorongan dari salah seorang gurunya. Pada awalnya, beliau merasa segan untuk
menuliskan sebuah kitab tafsir, karena bidang ilmu ini yaitu ilmu tafsir
al-Qur’an merupakan ilmu yang terhitung berat. Namun kemudian, demi misi
lestarinya sebuah tradisi penulisan ilmu pengetahuan, maka beliau pun menuliskan
karya tafsirnya ini.
# Apakah sang penulis tetap merujuk
ke pendapat para ahli tafsir dalam menyusun kitab tafsirnya ini?
Benar, dalam menulis karya tulis
ini, beliau merujuk kepada beberapa kitab tafsir sebagaimana yang beliau
sebutkan dalam mukaddimah kitab tafsirnya. Beberapa rujukan tersebut adalah (1)
al-futuhat al-Ilahiyah atau yang lebih dikenal dengan nama Hasyiah
al-Jamal karya Syaikh Sulaiman ibn ‘Umar al-Jamal (w. 1204 H/1789 M), (2) Mafatih
al-Ghaib atau yang lebih dikenal dengan nama al-Tafsir al-Razi karya
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H/ 1209 M), (3) al-Siraj al-Munir karya
Syaikh Syamsuddin Muhammad al-Syarbini (w. 977 H/1569 M), dan (4) Tafsir Abi
Su’ud atau Isyad al-‘Aql al-Salim karya Abu Saud al-‘Imadi.
# Bagaimana metode dan langkah
penafsiran Syaikh Nawawi dalam kitabnya?
Beliau mengarang kitab tafsirnya
dengan bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab ini tentu merupakan sebuah
keistimewaan tersendiri karena dengan demikian, ia bisa diakses oleh masyarakat
Internasional.
Adapun metode beliau dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an di kitab tafsirnya ini adalah metode tahlili yaitu
metode penafsiran yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dengan
meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian
makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, munasabah, dengan
bantuan asbabun nuzul (sebab diturunkan ayat al-Qur’an), riwayat dari
Rasulullah SAW, shahabat, maupun tabi’in. prosedur ini dilakukan dengan
mengikuti susunan mushaf, ayat per-ayat, dan surat per-surat. Metode ini
terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan masa Nabi SAW sampai tabi’in. terkadang pula diisi dengan
uraian kebahasaan dan materi khusus lainnya.
Selain menggunakan metode tahlili,
beliau juga menggunakan pendekatan ra’yu (pendapat) yang didasarkan pada
analisis bahasa serta kaedah-kaedahnya. Secara umum, pendekatan inilah yang
digunakan beliau dalam tafsirnya. Maka dari itulah, kitab tafsir beliau ini
bergenre tafsir bi ar-Ra’yi yang Mahmud (terpuji), why? Karena
beliau mampu mengkombinasikan kaedah bahasa dengan syariat. Namun demikian, beliau tidak selalu mengupas
panjang lebar makna sebuah kosakata, sehingga tafsir ini tidak terjebak pada
penjelasan yang bertele-tele. Tidak jarang pula beliau menyertakan syair dalam
penjelasan tafsir darinya dan beliau juga banyak mengusung kisah-kisah
Israiliyyat (kisah-kisah yang dinukil dari kalangan bani Israil, baik yang
beragama Yahudi maupun Nasrani).
# Bagaimana corak tafsir Marah
Labid?
Meskipun tafsir ini bersifat umum
dan menekankan masalah bahasa dan kaidah-kaidahnya, tetapi ada satu arah yang
dituju oleh tafsir ini, yakni ingin memberikan penanaman keimanan kepada Allah
dan ajaran-ajaran-Nya. Dalam bidang aqidah, Syaikh Nawawi beraliran Sunni/
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan mengikuti madzhab Asy’ariyyah meskipun dalam
beberapa permasalahan aqidah di kitab tafsirnya ini, beliau lebih rapat kepada
madzhab Maturidiyah dan Mu’tazilah. Sementara dalam penafsiran ayat-ayat
berkaitan dengan hukum, beliau menggunakan madzhab Syafi’i sebagai landasan
fiqih beliau dalam penafsirannya karena memang beliau bermadzhab Syafi’i.
Ketika terjadi khilafiyah
(persilangan pendapat) dalam persoalan hukum di pembahasan tafsirnya, beliau
tidak mengambil pendapat yang lebih kuat. Pada tempat-tempat tertentu, beliau
hanya sekedar menunjukkan adanya khilafiyah di antara ulama-ulama madzhab,
sementara pada tempat-tempat yang lain, beliau melakukan penilaian pendapat
yang dinilainya lebih kuat.
Beliau juga menyoroti fenomena yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat akan adanya sikap saling klaim kebenaran.
Hal itu terlihat ketika beliau menafsirkan QS: 3:105 dengan mengutip pendapat
al-Razi, beliau mengecam sikap sebagian besar ulama saat ini yang tidak bisa
menghargai perbedaan pendapat. Mereka memilih saling bertikai dan bersengketa
dengan mengklaim bahwa dirinya yang benar, sementara yang berbeda dengannya
salah. Sikap ini dinilainya tidak sejalan dengan pesan al-Qur’an.
# Bagaimana kelebihan kitab tafsir
ini?
1.Menggunakan bahasa Arab
Syaikh Nawawi dalam menyusun kitab
tafsirnya menggunakan bahasa Arab sehingga kitab ini tidak kita katakan sebagai
kitab warisan umat Islam Indonesia saja, tetapi kitab ini juga merupakan warisan legendaris umat Islam dunia. Selain
itu, dengan menggunakan bahasa Arab, kitab ini dapat dikaji oleh penuntut
ilmu-ilmu syariah dari segala penjuru dunia karena bahasa Arab adalah bahasa
internasinal di kalangan akademisi ilmu syariah seluruh dunia.
2. Jelas dan mudah dipahami
Beliau tidak menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an secara terbelit-belit. Beliau menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan
ringkas, jelas, dan mudah dipahami oleh pembacanya. Selain itu, pesan-pesan
yang terkandung dalam tafsir ini sangat mudah ditangkap oleh pembaca.
3. Akrab dengan bahasa al-Qur’an
Uraiannya yang singkat dan padat
mengakibatkan tidak dijumpainya penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang keluar dari
kosakata ayat tersebut. metode ini lebih mengedepankan makna sinonim dari
kata-kata yang bersangkutan, sehingga pembacanya merasa dirinya sedang membaca
al-Qur’an dan bukan membaca suatu tafsir.
Demikianlah resensi tentang kitab
tafsir ini. Mudah-mudahan dapat menambah wawasan dan keilmuan pembaca.
Ditulis oleh Muhdarul Islami Zarnuji
Dinukil dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar