1) Syarat penjual dan pembeli
2) Syarat akad jual beli
3) Syarat barang yang dijual atau barang yang dijadikan objek transaksi
2) Syarat akad jual beli
3) Syarat barang yang dijual atau barang yang dijadikan objek transaksi
Pembahasan pertama, syarat pembeli
dan penjual adalah:
1) Berakal dan telah nyampai usia
baligh. Kalau umpamanya yang jual atau yang beli adalah orang gila, maka jual
beli tidak sah, kenapa? Karena dia dalam kondisi tidak menyadari apakah dia
ingin melaksanakan transaksi atau tidak?
Kemudian, ada pertanyaan menarik.
Kalau seumpamanya seorang anak yang belum baligh, akan tetapi dia sudah
memiliki kepiawaian dalam melakukan transaksi, apakah boleh baginya untuk
melakukan transaksi jual beli?
Jawaban:
👉 Ulama madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa anak kecil yang belum baligh, akan tetapi dia sudah memiliki kepiawaian dalam melakukan transaksi, maka dia diperbolehkan untuk melakukan transaksi jual beli jika dia telah dikasih izin oleh walinya. Jika dia tidak dikasih izin dari walinya, maka dia tidak bisa melaksanakan transaksi alias di bawah tanggung jawab walinya. Jadi, yang jadi patokan sah atau tidaknya jual beli anak itu adalah adanya izin dari walinya. Kenapa sang anak harus mendapat izin dahulu dari walinya sebelum bertransaksi? Karena akan berdampak pada bagaimana sang anak mengatur barang dan alat yang dipakai untuk bertransaksi, baik dia menjual atau dia membeli dan bisa jadi jika sang anak bertansaksi tidak berada pada izin walinya, maka bisa-bisa dia bisa menipu atau dia bertransaksi tidak di atas syariat Islam, maka akan berdampak pada sah atau tidaknya transaksi yang dia lakukan. Maka dari itulah, izin dari walinya sangat penting sebagai patokan supaya lahirlah maslahat dan terjaganya harta.
👉 Adapun
ulama madzhab Syafi'iyyah berpendapat tidak sah transaksi anak kecil yang belum
baligh karena anak kecil jika belum baligh, maka dia belum mendapatkan taklif
(pembebanan untuk menjalankan syariat). Jika dia belum mendapatkan taklif, maka
dia tidak boleh diberikan wewenang untuk bertansaksi jual beli.
2) Adanya keridhaan antara pembeli
dan penjual. Maka tidak sah orang yang melakukan transaksi jual beli baik yang
penjual maupun pembeli dalam kondisi terpaksa. Kondisi terpaksa bisa terjadi
karena jiwanya, hartanya, dan kehormatannya diganggu sehingga dia terpaksa
dalam melakukan transaksi. Dan Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya jual beli harus dalam kondisi ridha (antara penjual dan
pembeli)." (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Pembahasan kedua, syarat akad jual
beli adalah:
1) Harus sesuai antara ijab dan
qabul, maksudnya adalah harus sesuai antara ijab dan qabul dalam barang yang
dijual dan harga.
Nggak faham penjelasan tadi, ini
contohnya: umpamanya saya menjual kepadamu tas harganya Rp. 40.000. Kemudian
anda setuju untuk membeli sepatu dengan harga Rp. 200.000. Wong yang benar,
kamu itu membeli tas yang saya jual kepadamu, bukan sepatu. Kan nggak sesuai
antara yang dijual dan yang dibeli. Jadi, intinya jika barangnya yang dijual adalah
itu, maka yang dibeli adalah itu pula, bukan yang tidak dijual.
Nah, pembahasan tadi adalah
pembahasan yang maksudku contohnya nggak mungkin ada di masyarakat. Masyarakat
wong faham kalau penjual menjual ini, ya saya beli apa yang dijual, bukan yang
lain.
2) Akad jual beli tidak diikat oleh
syarat dan waktu. Masih nggak faham tashawwurnya (gambarannya)?
Ini gambarannya: saya menjual ini
jika datang ibuku dari penjalanan atau sebulan kemudian. Akadnya sah atau tidak
sah? Jelas tidak sah, kenapa? Baca syarat tadi, Akad jual beli tidak diikat
oleh syarat dan waktu.
Maka, akad jual beli harus
diselesaikan waktu itu juga dan di tempat itu juga. Nah, Insya Allah ada
pembahasan mendalam tentang hal ini di artikel penulis yang lain: Jenis-Jenis Pilihan Akad Jual Beli Dalam Tinjauan Ilmu Fiqih
Pertanyaan:
1) Bagaimana tatacara akad jual beli?
2) Apakah sah jual beli hanya dengan lisan saja atau hanya dengan gerakan saja?
3) Apakah boleh kita mengutus seseorang untuk membelikan kita sesuatu dari penjual?
3) Apakah boleh kita mengutus seseorang untuk membelikan kita sesuatu dari penjual?
Jawaban:
1) tatacaranya adalah melakukan akad yang mana menunjukkan ridha antara penjual dan pembeli. Bagaimanapun cara berakad, selama ada ridha dari dua orang yang bertansaksi, maka transaksinya sudah sah.
2) baik dengan lisan maupun gerakan jika mendatangkan ridha antara penjual dan pembeli, maka akadnya tetap sah. Contohnya orang bisu bertransaksi dengan penjual yang bisu, maka selama bahasa isyarat yang mereka peragakan dalam akad mendatangkan ridha antara mereka, maka akadnya telah sah.
3) Hukumnya tetap sah, bisa dengan mengirim utusan, atau dengan mengirim surat kepada penjual untuk membeli darinya, atau bisa melalui email atau melalui telepon.
Pembahasan ketiga, syarat barang
yang dijual atau barang yang dijadikan objek transaksi adalah:
1) Barang yang dijual harus ada
ketika kita bertransaksi. Maka tidak sah jual beli buah yang masih di pohon
atau jual beli pohon yang biasanya setiap tahun panen, jual beli anak hewan
yang masih dikandung oleh induknya, jual beli susu yang masih di hewan
berdasarkan larangan Nabi saw tentang jual beli apa yang tidak dimiliki. Begitu
juga dilarang jual beli buku yang belum dicetak.
2) Barang yang dijual adalah barang
yang bermanfaat atau yang dapat dimanfaatkan. Maka tidak sah menjual bangkai,
darah, khamar, babi, patung sesembahan, dan salib berdasarkan sabda Rasulullah
saw: "Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan
berhala." (HR. Penulis kutubussittah dari Jabir ra)
Tidak sah jual beli bagian tubuh
manusia seperti rambut dan darah. kenapa diharamkan jual beli organ tubuh?
Sebagai bentuk memuliakan organ-organ tubuh.
Ada pertanyaan penting, lantas apa
hukumnya kita mendonorkan darah? Jawabannya adalah boleh kita mendonorkannya
dan boleh pula kita yang mendonor diberi hadiah sebagai bentuk terima kasih
kepada kita yang telah mendonor.
Bagaimana dengan hukum jual beli alat
musik?
Memang masih khilaf di antara para
ulama tentang hukum alat musik. Ada yang mengharamkan karena melalaikan dan
tidak bermanfaat dan ada pula yang memperbolehkannya tergantung tujuan yang
memainkannya. Jadi, tatkala hukum alat musik masih didiskusikan oleh para
ulama, maka akan berdampak pada sah atau tidaknya akad jual beli. Maka, bagi
yang mengharamkan, jelas alat musik haram dijual, bagi yang menghalalkan,
tergantung hukumnya. Jika saya jual kepadamu gitar dengan harga sekian dan saya
tahu 99,9 % anda akan memakainya untuk melakukan maksiat, maka haram saya jual
gitar kepadamu. Akan tetapi jika saya jual gitar ini kepadamu dan saya tahu
99,9 % anda memainkannya untuk refreshing asalnya lirik lagunya tidak
mengandung keburukan atau dimainkan untuk berdakwah, maka hukumnya adalah
boleh.
3) Barang yang dijual harus dimiliki
oleh penjual. Maka tidak sah jual beli barang yang bukan milik penjual dan
tidak sah pula kita membeli barang yang bukan milik penjualnya. Dari Hakim bin
Hizam, Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kamu menjual barang yang bukan
milikmu." (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai)
Perincian: Tidak boleh bagi kita
untuk menjual rumput yang tumbuh karena disirami air hujan, meskipun rumput itu
bisa dimiliki.
4) Barang yang dijual dapat diserah
terima ketika melaksanakan transaksi. Maka tidak sah kita menjual burung yang
terbang di langit atau ikan di lautan atau sapi yang berkeliaran di hutan.
5) Barang yang dijual adalah barang
dapat ketahui oleh kedua belah pihak yang bertransaksi. Maka tidak sah kita
umpamanya menyodorkan kepada pembeli dua barang yang mana kita bilang kepadanya
bahwa kita menjual salah satu di antara dua barang tersebut tanpa menentukan
yang mana salah satu dari dua barang yang kita jual.
Barang yang diperjual belikan bisa
diketahui dengan cara melihat langsung bila barang yang dibeli dapat diketahui
dengan cara dilihat atau melalui kriteria barang yang disebutkan atau didengar
bila kegunaan barang utama barang tersebut adalah dapat diketahui dengan cara
didengar atau dicium bila kegunaan utamanya adalah aromanya atau dicicipi bila
kegunaan utamanya adalah pada rasa.
Demikianlah kajian kita dalam status
kali ini. Semoga bermanfaat.
Referensi:
1) Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili.
2) Shahih Fiqhus Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid salim.
3) Al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'asharah, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili.
4) Sifat Perniagaan Nabi, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam, Dr. Muhammad Arifin bin Badri, MA.
2) Shahih Fiqhus Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid salim.
3) Al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'asharah, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili.
4) Sifat Perniagaan Nabi, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam, Dr. Muhammad Arifin bin Badri, MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar