Apakah Khamer itu Suci Atau Najis?



Kaum Muslimin pasti mengetahui hukum meminum khamar yaitu hukumnya haram karena berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasannya setiap yang memabukkan, maka dia disebut khamer, dan khamer hukumnya haram diminum.

Nah, kita kan sudah tahu hukum meminum khamer, tapi sudah ada yang tahu nggak apakah khamer itu suci atau najis?

Penulis menghimbau kepada pembaca untuk membedakan antara halal dengan suci, haram dengan najis karena dua hal ini memiliki perbedaan yang mencolok secara tersirat. Tidak semua yang suci boleh dikonsumsi, begitu juga tidak semua yang haram berarti itu najis. Harus dipahami secara cermat.

Khamer jelas-jelas haram diminum karena mengandung kemudharatan yang besar tapi apakah keharaman mengonsumsi khamer menyebabkan khamer disebut sebagai cairan bernajis? Berikut ini adalah uraian tentang hukum kesucian khamar:

Terjadi ikhtilaf di antara para ulama tentang hukum kesucian khamar.

Pendapat pertama, hukumnya najis. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, di antara mereka adalah para imam empat madzhab dan pendapat ini dipegang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Adapun hujjah (argumen) mereka adalah:

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ 
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah rijsun termasuk perbuatan syaithan. maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian beruntung.” (QS. Al-Maidah: 90)

Mereka mengartikan rijsun dengan makna najis, maka mereka menghukumi khamar sebagai najis.

Pendapat kedua, hukumnya suci. Ini adalah pendapat Rabi’ah, Al-Laits, Al-Muzani (murid Imam Asy-Syafi’i) dan selain mereka dari kalangan ulama salaf. Pendapat ini dipegang oleh Imam Asy-Syaukani, Imam Ash-Shan’ani, Syaikh Ahmad Syakir, dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dan inilah pendapat yang rajih. Adapun argumentasi pendapat ini adalah :

  1. Sesungguhnya ayat ini tidak menunjukkan akan kenajisan khamar.
a.       Sesungguhnya lafazh rijsun termasuk musytarakaul lafzhiyyah, maka rijsun memiliki banyak arti, di antaranya: bermakna al-Qadzar (tidak disukai), al-Muharram (diharamkan), Qabih (jelek), adzab, laknat, kufur, keburukan, dosa, najis, dan lain-lain.

b.      Abdullah bin Abbas yang dijuluki tarjamanul Qur’an (ahli Al-Qur’an) dan telah didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai ahli fiqih dan tafsir al-Qur’an menafsirkan rijsun dengan makna as-Sukhthu (kemurkaan) sedangkan Ibnu Zaid menafsirkan rijsun dengan makna keburukan.

c.       Sesungguhnya lafazh rijsun telah disebutkan di ayat-ayat lain selain ayat di atas, yaitu:
 يجعل الله الرجس على الذين لا يؤمنون كذلك

“Begitulah Allah menjadikan rijsun atas orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am: 125) maksud rijsun dalam ayat ini adalah adzab.

Ayat lain tentang kedudukan orang-orang munafik:
إنهم رجس و مأواهم جهنم

“Sesungguhnya mereka rijsun dan tempat kembali mereka adalah jahannam.” (QS. At-Taubah: 95)

Begitu juga di ayat lain:

فاجتنبوا الرجس من الأوثان

“Maka jauhilah rijsun dari berhala-berhala.” (QS. Al-Hajj: 30) dinamakan berhala-berhala itu rijsun disebabkan karena rijzun dan adzab dan berhala jelas terbuat dari batu sementara batu itu hakikatnya suci bukan najis, tapi ingat!!! Haram berhala itu disembah.

d.      Ketika khamar di ayat ini disandingkan dengan anshab (berkurban untuk berhala) dan azlam (mengundi nasib dengan anak panah), maka penyandingan tersebut memalingkan untuk makna rijsun ke selain najis yang syar’i. begitu juga dengan firman Allah :

إنما المشركون نجس

“Sesungguhnya orang-orang musyrik merupakan najis.” (QS. At-Taubah: 28) sementara telah datang dalil-dalil lain yang shahih yang menunjukkan ketidaknajisan badan orang-orang musyrik.

e.       Sesungguhnya pengharaman khamar tidak menjadikan zat khamar itu najis sebagaimana pengharaman memakai baju yang terbuat dari sutra tidak menjadikan zat baju bersutra tersebut najis sementara baju bersutra itu suci.

f.       Sesungguhnya rijsun di ayat ini dikaitkan dengan bentuk “min ‘amalis syaithan” (dari perbuatan syaithan) maka itu adalah rijsun ‘amaliy (secara amaliyah) dengan makna jelek atau diharamkan atau dosa dan itu bukan rijsun ‘ainiy (secara dzat).

  1. Ada dalil yang menunjukan akan kesucian khamar yaitu hadits dari Anas tentang kisah diharamkannya khamar. Di dalam hadits tersebut, tercantum:
فأمر رسول الله مناديا ينادي : ألا إن الخمر قد حرمت قال: فخرجت فأحرقتها فجرت في سكك المدينة

“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan penyeru untuk menyerukan: “ketahuilah, bahwasannya khamar telah diharamkan.” Maka dia berkata: “Maka aku kemudian aku tuangkan air khamar dan air khamar mengalir di jalan kota Madinah.” (HR. Al-Bukhari no. 2332 dan Muslim no. 1980)

  1. Sesungguhnya asal dari sesuatu adalah suci, sementara, tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisan khamar. Maka hukum dikembalikan ke asalnya, yaitu suci.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh Abu Ubaydillah Muhdarul Islamy bin Syamsi Az-Zarnuji

Maraji (Referensi): Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhihu Madzahibi Al-Aimmah (Cairo: Al-Maktabah At-Taufiqiyyah), hal. 75-77.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar