Kita harus membaca sejarah seperti halnya membaca
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tatkala hendak
membaca hadits-hadits beliau, tentu saja kita mengklarifikasi riwayatnya
terlebih dahulu; apakah sanadnya shahih ataukah tidak? Tidak mungkin riwayat
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diketahui benar atau
tidaknya tanpa melalui penelitian sanad dan matan. Karenanya, para ulama
memperhatikan hadits dan perawinya. Mereka mengumpulkan setiap redaksi hadits
yang diriwayatkan perawi, memilah-milahnya, menghukuminya, dan memisahkan yang
shahih dari yang dha’if. Dengan metode ini, hadits-hadits yang dinisbatkan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa dibersihkan dari cela, kebohongan,
dan hal buruk semisal yang disisipkan padanya.
Akan tetapi, riwayat-riwayat terkait sejarah amat
berbeda. Terkadang, kita menemukan riwayat-riwayat yang tidak bersanad.
Terkadang pula, kita menemukan sanadnya, tetapi biografi para perawi itu tidak
ditemukan. Sering juga kita tidak menemukan jarh (kritik) ataupun ta’dil
(sanjungan) ulama terhadap perawi terkait kredibilitas periwayatannya.
Alhasil, kita kesulitan untuk menghukumi riwayat tentang sejarah tersebut
dikarenakan tidak mengetahui keadaan sebagian perawinya. Dengan kata lain,
meneliti keotentikan sejarah lebih sulit daripada keotentikan hadits. Oleh
sebab itu, kita tidak boleh menyepelekannya. Justru kita harus mengklarifikasi
dan mengetahui riwayat sejarah yang shahih.
Mungkin ada yang berpendapat, dengan standar
penilaian demikian, berarti banyak sejarah kita yang akan hilang. Pendapat
tersebut dapat kita bantah. Sejarah kita tidak akan hilang sebanyak sangkaan
anda. Karena, banyak riwayat sejarah yang dibutuhkan disebutkan beserta sanadnya. Baik sanad itu disebutkan dalam kitab
sejarah, seperti Tarikh Ath-Thabari; dalam kitab-kitab hadits seperti Shahih
Al-Bukhari, Musnad Imam Ahmad, dan Jami’ut Tirmidzi; dalam
kitab-kitab Mushannaf, seperti Mushannaf Ibni Abi Syaibah; dalam
kitab-kitab tafsir yang menyebutkan riwayat sejarah disertai sanadnya, seperti Tafsir
Ibni Jarir dan Tafsir Ibni Katsir, maupun dalam kitab-kitab secara
khusus berbicara tentang periwayatan sejarah tertentu, seperti Hurubur
Riddah karya Al-Kula’i atau kitab singkat berjudul Tarikhul Khalifah
Ibnu Khayyath.
Intinya, kita tidak boleh menyerah untuk menemukan
sanad dari riwayat-riwayat sejarah yang beredar saat ini. Kalaupun kita tidak
menemukan sanadnya, kita tetap mempunyai pedoman umum, khususnya berkaitan
dengan para shahabat; yaitu pujian Allah ‘Azza wa Jalla dan dan
sanjungan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka radhiyallahu
‘anhum dan itu menunjukkan bahwa pada hakikatnya, mereka adalah orang-orang
yang shalih. Maka, setiap riwayat yang mengandung celaan kepada para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam harus dilihat sanadnya terlebih
dahulu. Jika memang shahih, maka kita lihat penafsiran dan keterangannya.
Namun, jika sanadnya dha’if, atau tidak memiliki sanad, maka kita berpegang
pada kaidah awal yaitu semua sahabat adalah shalih.
Jadi, ketika membaca sejarah, kita harus bersikap
teliti, sebagaimana tatkala membaca hadits. Apalagi jika bacaan tersebut
terkait dengan sejarah pokok umat Islam, yakni sejarah para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan:
“Seseorang harus mempunyai pegangan atau pedoman umum sebagai sumber
penyandaran hal-hal yang bersifat parsial dan lebih rinci, agar dia bisa
berbicara berdasarkan ilmu dan objektif, di samping akan mengetahui bagaimana
hal-hal itu sampai terjadi. Jika tidak demikian, maka dia akan mudah terhasut
oleh kedustaan dan kebodohan mengenai masalah-masalah parsial tersebut, dan
tetap bodoh terhadap pedoman umumnya. Dan bisa dipastikan hal itu akan
melahirkan kesimpulan (pemahaman) yang sangat kacau.” (Majmu’ Al-Fatawa,
19/203)
Ironisnya, dewasa ini orang-orang justru gemar
membaca tulisan modern mengenai sejarah yang hanya memperhatikan keindahan
cerita atau melogiskan situasi dan kondisi tanpa memperhatikan shahih tidaknya
riwayat-riwayat yang dinukil, seperti buku-buku karya ‘Abbas Al-‘Aqqad, Khalid
Muhammad Khalid, Thaha Husain, George Zaidan seorang Nashrani, atau buah tangan
tokoh masa kini lainnya.
Mereka, para penulis yang saya (Syaikh Dr. Utsman
bin Muhammad Al-Khamis) sebutkan tadi, hanya memperhatikan keterkaitan alur,
keunikan kisah, dan keindahan penyusunan ketika berbicara tentang sejarah.
Mereka tidak memperhatikan apakah kisah-kisah itu dinukilkan secara shahih atau
tidak. Sebagian mereka bahkan sengaja mendistorsi kisah tersebut. bagi mereka,
yang terpenting adalah kisah yang enak dibaca oleh anda.
Berikut beberapa kitab sejarah yang harus
diwaspadai.
1. Al-Aghani karya Abul Faraj Al-Ashbahani.
Kitab ini berisi obrolan, syair, dan nyanyian yang dicampuri berita-berita yang
tidak benar.
2. Al-‘Iqdul Farid karya Ibnu Abdi Rabbih.
Kitab sastra ini banyak memuat nukilan-nukilan palsu.
3. Al-Imamah was Siyasah yang dinisbatkan
kepada Ibnu Qutaibah rahimahullah. Tetapi penisbatan ini adalah dusta
belaka.
4. Murujudz Dzahab atau Tarikh Al-Mas’udi karya
Al-Mas’udi. Kisah-kisah yang dituturkan di dalam kitab ini tidak bersanad. Ibnu
Taimiyyah mengomentari kitab tersebut: “Dalam Tarikh Al-Mas’udi, terdapat
banyak kebohongan, saking banyaknya, sampai-sampai tidak ada yang mengetahui
jumlahnya kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana mungkin riwayat dengan
sanad terputus dalam sebuah kitab yang terkenal banyak dustanya itu bisa
dipercaya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani juga berkomentar:
“Kitabnya-kitabnya menunjukkan bahwa dia (al-Mas’udi) berpaham Syiah dan
Muktazilah. (Lisanul Mizan, 5/532)
5. Syarh Nahjil Balaghah karya ‘Abdul Hamid
bin Abdul Hadid, seorang Muktazilah yang dinilai dha’if oleh para ulama Jarh wat Ta’dil. Orang yang
mengetahui alasan penyusunan kitab ini pasti akan meragukan diri dan karyanya.
Kitabnya ini disusun demi Al-Wazir bin Al-Alqami, seseorang yang menjadi
penyebab utama terbunuhnya jutaan muslim Baghdad di tangan bangsa Tartar.
Al-Khawanisari menegaskan: “Dia (Ibnu Abul Hadid) menyusunnya untuk memenuhi
lemari (perpustakaan pribadi) al-Wazir Muayyidduddin Muhammad bin al-‘Alqami. (Raudhatul
Jannat, al-Khawanisari, 5/20-21)
Bahkan, banyak ulama Syi’ah yang mencela penulis dan
karyanya ini. Al-Mirza Habibullah al-Khu’i mengomentari sosok Ibnu Abul Hadid:
“Orang ini tidak termasuk ahli dirayah (ahli fiqih) maupun ahli atsar (ahli
hadits), pendapatnya kacau dan pandangannya bobrok. Keberadaannya justru
memperkeruh kegaduhan; dia telah menyesatkan banyak orang dan dia sendiri
tersesat dari jalan yang lurus.” Adapun mengenai karyanya, al-Mirza
berkomentar: “Tulisannya seperti jasad tanpa roh. Bahasanya berputar-putar pada
kulit dan tidak mengandung takwil-takwil yang jauh (dari kebenaran); tabiat orang
lari menghindarinya, pendengaran pun mengingkarinya.” (Lihat Minhajul
Bara’ah Syarh Nahjil Balaghah, al-Mirza Habibullah Al-Khu’i, 1/14, terbitan
Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi, Beirut)
6. Tarikh Al-Ya’qubi. Kitab ini dipenuhi
riwayat-riwayat mursal, tidak ada sanadnya
Disadur dari Inilah Faktanya, Dr. Utsman bin
Muhammad bin al-Khamis, hal-14-18, cet. Pustaka Imam Asy-Syafi’i Jakarta.
(Judul asli dalam bahasa Arab: Hiqbah Minat Tarikh, cet. Dar Ibnu
al-Jauzi, Kairo, Mesir, penerjemah: Syarafuddin, Lc)
Lihat pula:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar