Bagaimana Kita Membaca Sejarah Sahabat Rasulullah?


Kita harus membaca sejarah seperti halnya membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tatkala hendak membaca hadits-hadits beliau, tentu saja kita mengklarifikasi riwayatnya terlebih dahulu; apakah sanadnya shahih ataukah tidak? Tidak mungkin riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diketahui benar atau tidaknya tanpa melalui penelitian sanad dan matan. Karenanya, para ulama memperhatikan hadits dan perawinya. Mereka mengumpulkan setiap redaksi hadits yang diriwayatkan perawi, memilah-milahnya, menghukuminya, dan memisahkan yang shahih dari yang dha’if. Dengan metode ini, hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa dibersihkan dari cela, kebohongan, dan hal buruk semisal yang disisipkan padanya.

Akan tetapi, riwayat-riwayat terkait sejarah amat berbeda. Terkadang, kita menemukan riwayat-riwayat yang tidak bersanad. Terkadang pula, kita menemukan sanadnya, tetapi biografi para perawi itu tidak ditemukan. Sering juga kita tidak menemukan jarh (kritik) ataupun ta’dil (sanjungan) ulama terhadap perawi terkait kredibilitas periwayatannya. Alhasil, kita kesulitan untuk menghukumi riwayat tentang sejarah tersebut dikarenakan tidak mengetahui keadaan sebagian perawinya. Dengan kata lain, meneliti keotentikan sejarah lebih sulit daripada keotentikan hadits. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menyepelekannya. Justru kita harus mengklarifikasi dan mengetahui riwayat sejarah yang shahih. 

Mungkin ada yang berpendapat, dengan standar penilaian demikian, berarti banyak sejarah kita yang akan hilang. Pendapat tersebut dapat kita bantah. Sejarah kita tidak akan hilang sebanyak sangkaan anda. Karena, banyak riwayat sejarah yang dibutuhkan disebutkan beserta sanadnya. Baik sanad itu disebutkan dalam kitab sejarah, seperti Tarikh Ath-Thabari; dalam kitab-kitab hadits seperti Shahih Al-Bukhari, Musnad Imam Ahmad, dan Jami’ut Tirmidzi; dalam kitab-kitab Mushannaf, seperti Mushannaf Ibni Abi Syaibah; dalam kitab-kitab tafsir yang menyebutkan riwayat sejarah disertai sanadnya, seperti Tafsir Ibni Jarir dan Tafsir Ibni Katsir, maupun dalam kitab-kitab secara khusus berbicara tentang periwayatan sejarah tertentu, seperti Hurubur Riddah karya Al-Kula’i atau kitab singkat berjudul Tarikhul Khalifah Ibnu Khayyath.

Intinya, kita tidak boleh menyerah untuk menemukan sanad dari riwayat-riwayat sejarah yang beredar saat ini. Kalaupun kita tidak menemukan sanadnya, kita tetap mempunyai pedoman umum, khususnya berkaitan dengan para shahabat; yaitu pujian Allah ‘Azza wa Jalla dan dan sanjungan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka radhiyallahu ‘anhum dan itu menunjukkan bahwa pada hakikatnya, mereka adalah orang-orang yang shalih. Maka, setiap riwayat yang mengandung celaan kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam harus dilihat sanadnya terlebih dahulu. Jika memang shahih, maka kita lihat penafsiran dan keterangannya. Namun, jika sanadnya dha’if, atau tidak memiliki sanad, maka kita berpegang pada kaidah awal yaitu semua sahabat adalah shalih.

Jadi, ketika membaca sejarah, kita harus bersikap teliti, sebagaimana tatkala membaca hadits. Apalagi jika bacaan tersebut terkait dengan sejarah pokok umat Islam, yakni sejarah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan: “Seseorang harus mempunyai pegangan atau pedoman umum sebagai sumber penyandaran hal-hal yang bersifat parsial dan lebih rinci, agar dia bisa berbicara berdasarkan ilmu dan objektif, di samping akan mengetahui bagaimana hal-hal itu sampai terjadi. Jika tidak demikian, maka dia akan mudah terhasut oleh kedustaan dan kebodohan mengenai masalah-masalah parsial tersebut, dan tetap bodoh terhadap pedoman umumnya. Dan bisa dipastikan hal itu akan melahirkan kesimpulan (pemahaman) yang sangat kacau.” (Majmu’ Al-Fatawa, 19/203)

Ironisnya, dewasa ini orang-orang justru gemar membaca tulisan modern mengenai sejarah yang hanya memperhatikan keindahan cerita atau melogiskan situasi dan kondisi tanpa memperhatikan shahih tidaknya riwayat-riwayat yang dinukil, seperti buku-buku karya ‘Abbas Al-‘Aqqad, Khalid Muhammad Khalid, Thaha Husain, George Zaidan seorang Nashrani, atau buah tangan tokoh masa kini lainnya.

Mereka, para penulis yang saya (Syaikh Dr. Utsman bin Muhammad Al-Khamis) sebutkan tadi, hanya memperhatikan keterkaitan alur, keunikan kisah, dan keindahan penyusunan ketika berbicara tentang sejarah. Mereka tidak memperhatikan apakah kisah-kisah itu dinukilkan secara shahih atau tidak. Sebagian mereka bahkan sengaja mendistorsi kisah tersebut. bagi mereka, yang terpenting adalah kisah yang enak dibaca oleh anda.

Berikut beberapa kitab sejarah yang harus diwaspadai.

1. Al-Aghani karya Abul Faraj Al-Ashbahani. Kitab ini berisi obrolan, syair, dan nyanyian yang dicampuri berita-berita yang tidak benar.

2. Al-‘Iqdul Farid karya Ibnu Abdi Rabbih. Kitab sastra ini banyak memuat nukilan-nukilan palsu.

3. Al-Imamah was Siyasah yang dinisbatkan kepada Ibnu Qutaibah rahimahullah. Tetapi penisbatan ini adalah dusta belaka.

4. Murujudz Dzahab atau Tarikh Al-Mas’udi karya Al-Mas’udi. Kisah-kisah yang dituturkan di dalam kitab ini tidak bersanad. Ibnu Taimiyyah mengomentari kitab tersebut: “Dalam Tarikh Al-Mas’udi, terdapat banyak kebohongan, saking banyaknya, sampai-sampai tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana mungkin riwayat dengan sanad terputus dalam sebuah kitab yang terkenal banyak dustanya itu bisa dipercaya.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani juga berkomentar: “Kitabnya-kitabnya menunjukkan bahwa dia (al-Mas’udi) berpaham Syiah dan Muktazilah. (Lisanul Mizan, 5/532)

5. Syarh Nahjil Balaghah karya ‘Abdul Hamid bin Abdul Hadid, seorang Muktazilah yang dinilai dha’if  oleh para ulama Jarh wat Ta’dil. Orang yang mengetahui alasan penyusunan kitab ini pasti akan meragukan diri dan karyanya. Kitabnya ini disusun demi Al-Wazir bin Al-Alqami, seseorang yang menjadi penyebab utama terbunuhnya jutaan muslim Baghdad di tangan bangsa Tartar. Al-Khawanisari menegaskan: “Dia (Ibnu Abul Hadid) menyusunnya untuk memenuhi lemari (perpustakaan pribadi) al-Wazir Muayyidduddin Muhammad bin al-‘Alqami. (Raudhatul Jannat, al-Khawanisari, 5/20-21)

Bahkan, banyak ulama Syi’ah yang mencela penulis dan karyanya ini. Al-Mirza Habibullah al-Khu’i mengomentari sosok Ibnu Abul Hadid: “Orang ini tidak termasuk ahli dirayah (ahli fiqih) maupun ahli atsar (ahli hadits), pendapatnya kacau dan pandangannya bobrok. Keberadaannya justru memperkeruh kegaduhan; dia telah menyesatkan banyak orang dan dia sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” Adapun mengenai karyanya, al-Mirza berkomentar: “Tulisannya seperti jasad tanpa roh. Bahasanya berputar-putar pada kulit dan tidak mengandung takwil-takwil yang jauh (dari kebenaran); tabiat orang lari menghindarinya, pendengaran pun mengingkarinya.” (Lihat Minhajul Bara’ah Syarh Nahjil Balaghah, al-Mirza Habibullah Al-Khu’i, 1/14, terbitan Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi, Beirut)

6. Tarikh Al-Ya’qubi. Kitab ini dipenuhi riwayat-riwayat mursal, tidak ada sanadnya

Disadur dari Inilah Faktanya, Dr. Utsman bin Muhammad bin al-Khamis, hal-14-18, cet. Pustaka Imam Asy-Syafi’i Jakarta. (Judul asli dalam bahasa Arab: Hiqbah Minat Tarikh, cet. Dar Ibnu al-Jauzi, Kairo, Mesir, penerjemah: Syarafuddin, Lc)

Lihat pula:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar