Para pembaca yang budiman, pada edisi tulisan kali
ini, blogger ingin mengulas suatu karya tulis dalam bidang Tafsir Al-Qur’an
asli karya ulama Sunda. Kitab Tafsir yang kita bahas ini berjudul Tamsyiyyatul
Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin. Penulis kitab Tafsir ini adalah KH. Ahmad Sanusi. Kitab ini dikarang dengan bahasa Melayu dengan menggunakan
huruf Latin. Mau tahu nggak tentang
kitab Tafsir ini? Dalam rangka memperkenalkan pembaca tentang kehebatan karya tulis
bidang Tafsir Al-Qur’an karya para ulama Nusantara, yuk kita menyelami isi
kitab tafsir ini! Check this out!
Apa artinya judul kitab Tafsir ini?
Kitab Tafsir ini berjudul Tamsyiatul Muslimin fii
Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin (Arab: تمشية المسلمين
في تفسير كلام رب العالمين) yang
artinya “Menggerakkan Seluruh Kaum Muslimin Dalam Memahami Tafsir Firman Rabb
Semesta Alam.”
Bagaimana biografi singkat sang
penyusun?
Kiai Sanusi adalah putera dari Ajengan Haji
Abdurrahim bin Yasin, pengasuh pesantren Cantayan di Sukabumi. Sebagai putera
seorang ajengan (kiai), beliau telah belajar ilmu-ilmu keislaman sejak
masih kanak-kanak. Selain itu, beliau juga banyak belajar dari para santri
senior di pesantren ayahnya. Menginjak usia dewasa, kiai Sanusi mulai mengaji
di beberapa pesantren di Jawa Barat. Pada usia 20 tahun, beliau menikah dengan
Siti Juwariyah binti Haji Afandi yang berasal dari Kebon Pedes, Baros,
Sukabumi. Setelah menikah, beliau dikirim ayahnya ke Mekkah untuk menunaikan
ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Beliau belajar di sana selama
tujuh tahun dan mendapat gelar imam besar Masjidil Haram. Beliau berguru kepada
ulama-ulama terkenal, khususnya dari kalangan ulama Jawi (Melayu).
Ketika belajar di Mekkah, Kiai Sanusi telah mengenal
ide-ide pembaharuan dari Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha,
dan Syaikh Jamaluddin Al-Afghani melalui buku-buku dan majalah aliran
pembaharuan di Mesir, sehingga pengaruh tersebut menjadikannya ulama pembaharu
di Indonesia. Meskipun demikian, beliau tetap tidak meninggalkan madzhab
fikihnya. Beliau tetap berpegang teguh dengan madzhab Syafi’i dalam masalah
fikih sebagaimana yang dilakukan oleh kedua gurunya, Syaikh Ahmad Khathib dan
Syaikh Mukhtar At-Tarid.
Kiai Sanusi dikenal sebagai ulama yang produktif
menghasilkan banyak karya tulis/kitab. Jumlah karya tulis/kitab sang kiai telah
mencapai 125 judul kitab, baik dalam bidang Tafsir Al-Qur’an, Hadits,
Tauhid/Akidah, fikih, Ilmu Bahasa Arab, Tasawuf, Manthiq, Balaghah, Sejarah,
dan lain-lain. Untuk karya tulis beliau dalam bidang Tafsir Al-Qur’an berjumlah
17 karya !!!. Salah satu karya tulis beliau dalam bidang Tafsir akan kita kaji
pada pembahasan ini.
Bagaimana latar belakang disusunnya
kitab Tafsir ini?
Kitab Tafsir Tamsyiatul Muslimin ini disusun
atas permintaan masyarakat luas dan motivasinya sendiri sebagai bentuk dakwah,
karena pada saat itu, kiai Sanusi tidak dapat berjumpa dengan masyarakat secara
bebas. Dengan demikian, Kiai Sanusi mengungkapkan gagasannya dan menyampaikan
ilmunya melalui tulisan. Kitab Tafsir berbahasa Melayu tersebut disusun ketika
beliau menjalani tahanan di Kota Sukabumi (sebagai tahanan kota) dan
diterbitkan setiap bulan sekali layaknya majalah. Tafsir ini tidak hanya dibaca
oleh anggota AII saja, melainkan dibaca pula oleh kalangan birokrat (). Dalam
waktu 6 bulan, tepatnya sampai bulan Maret 1935, tafsir ini sudah tersebar
sampai ke Bengkulu. Di Bengkulu sendiri terdapat seorang agen yang bernama H.
Bachsin Muhsin, sehingga tafsir ini mudah sampai ke Bengkulu. Sedangkan di
Batavia Centrum terdapat agen yang bernama M. Gojali, serta di Bandung M.
Wirasudarma dan R. Amidjaja. Selain ke Bengkulu, Bandung, dan Batavia Centrum,
tafsir ini pun sampai ke Makassar, Palembang, Manggala, biliton, dan Lampung.
Kontroversi Tentang Kitab Tafsir ini
Ada yang menarik untuk diulas dalam resensi ini,
yaitu tentang kontroversi seputar kitab tafsir ini. Yap, kita ini ternyata
menuai kontroversi yang cukup menarik untuk kita ulas. Apa sih kontroversi yang
terjadi terhadap kitab tafsir ini?
Kronologinya begini, kitab tafsir ini ditulis dengan
huruf latin dan hanya ditulis sampai cetakan ke-53 (setiap cetakan memuat
sekitar 30-35 halaman) dengan halaman terakhir 1478. Penghentian penulisan
tafsir ini diduga sebagai pemenuhan persyaratan pembebasan Kiai Sanusi dari
statusnya sebagai tahanan kota. Selain itu, mesin cetak yang digunakan disita
oleh pemerintah Belanda dan pajak yang harus dikeluarkan terlalu besar. Dengan
demikian, Kiai Sanusi hanya menafsirkan sampai surat Al-Maidah ayat 35. Pada
awalnya tafsir ini dicetak oleh Al-Ittihad Drukkerij Sukabumi milik AII. Namun,
mesin cetak tersebut disita oleh pemerintah Belanda pada bulan Agustus 1937
karena tafsir Tamsyiyat dianggap sebagai alat propaganda AII menuju
gerakan politik dan menuai banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Setelah
itu, tafsir Tamsyiyat dicetak oleh percetakan Masduki sejak tanggal 5
September 1937.
Kontoversi terhadap tafsir Tamsyiyat muncul akibat
Kiai Sanusi mengalihkan huruf Al-Qur’an ke huruf Latin. Pada saat itu, masih
banyak masyarakat yang belum mampu membaca huruf Arab. Oleh karena itu, ajengan Sanusi
berinisiatif untuk memberikan
transliterasi ke dalam huruf Latin di
bawah Al-Qur’an yang ditulis dengan aksara Arab dengan tujuan untuk memberikan
kemudahan kepada mereka. Akan tetapi, transliterasi Al-Qur’an ke dalam huruf
Latin tersebut dipandang haram oleh pemerintah dan para ulama Pakauman. Salah satu
penentang penulisan Al-Qur’an dengan huruf Latin adalah Haji Oestman (baca: Utsman)
dari Negeri Perak Malaysia. Haji Oetsman berencara untuk menerbitkan sebuah
kitab yang isinya membantah terhadap tafsir Tamsyiyat dengan judul Tashfiyatul
Afkar.
Perdebatan antara Kiai Sanusi dengan pihak yang
mengharamkan semakin memanas, sehingga mendorong pejabat setempat untuk mempertemukan dua
pihak tersebut. Akan tetapi, sampai tahun 1936, kedua pihak tersebut belum
menemukan titik temu karena tajamnya perbedaan pendapat yang dikemukakan. Bahkan,
kelompok yang mengharamkan transliterasi Al-Qur’an semakin gencar
menyebarluaskan fatwanya kepada masyarakat. Dengan demikian, anggota AII
berencana untuk mengadakan debat terbuka sebagai upaya menghindari fitnah serta
sangkaan yang tidak baik dan tidak sehat. AII mengundang para pemuka agama Islam
dan kelompok yang mengharamkan transliterasi Al-Qur’an. Namun, pertemuan
tersebut belum pula membuahkan hasil, sehingga pemerintah membentuk Komite
Permusyawaratan Menulis Al-Qur’an Dengan Huruf Latin pada tanggal 4 Oktober
1936. Karena kebimbangan masyarakat pada saat itu pun semakin membesar, komite
memutuskan untuk mengadakan diskusi antara kedua pihak pada tanggal 25
Oktober 1936 di Cipelang Gede. Diskusi tersebut tidak hanya dihadiri oleh
kelompok Kiai Sanusi dan kelompok
Pakauman, melainkan dihadiri pula oleh berbagai organisasi keislaman dan
kalangan pers serta sekitar 15.000 kaum Muslimin. Setelah mendengarkan pendapat
dan penjelasan masing-masing pihak, komite memutuskan bahwa mentransliterasi
Al-Qur’an ke dalam huruf Latin hukumnya boleh karena tidak ada satu pun ayat,
hadits, atau keterangan lain yang mengharamkannya.
Bagaimana metode dan cara Kiai Sanusi
dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an di kitab tafsirnya tersebut?
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, beliau
menggunakan metode riwayat, yaitu cara menafsirkan ayat dengan
menggunakan ayat lain yang memiliki hubungan dengannya atau dengan
hadits-hadits. Metode ini adalah metode terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an dan
salah satu kitab Tafsir yang menggunakan metode ini adalah kitab Adhwaul
Bayan fi Idhah Al-Qur’an bil Qur’an karya ulama berdarah Afrika yang
bermukim di Tanah Hijaz (sekarang Arab Saudi), yaitu Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi. Metode Kiai Sanusi ini dapat kita cermati dalam penafsirannya,
dimana beliau banyak memasukkan ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan
permasalahan yang sedang dibahas. Terkadang, beliau pun menafsirkan dengan
pemikiran (pendapat sendiri), tetapi lebih dominan menggunakan riwayat. Untuk mengetahui
metode penafsiran Al-Qur’an, pembaca dapat mempelajarinya di sini.
Adapun cara Kiai Sanusi menafsirkan Al-Qur’an adalah
dengan memenggal setiap kata atau kalimat dalam suatu ayat, teks Arab ditulis
dan dicantumkan pula terjemahan di samping teks Arab tersebut. Kemudian di
bawah redaksi ayat dan teks terjemahan, diberi tansliterasi Al-Qur’an ke dalam
huruf Latin. Setelah itu, barulah
penjelasan/penafsiran terkait ayat yang dikaji.
Untuk tafsir dari beliau tentang surat al-Baqarah,
setelah menafsiran surat al-Fatihah, beliau tidak langsung menafsirkan surat
al-Baqarah, tetapi memberikan penjelasan terlebih dahulu tentang hukum membaca
basmalah, hukum membaca al-Fatihah dan keterangan membaca aamiin sesudah
al-Fatihah disertai dalil-dalil yang masyhur. Hal tersebut menunjukkan bahwa
K.H. Ahmad Sanusi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai keilmuan,
seperti hadits dan fikih.
Ada yang menarik untuk kita ketahui tentang cara
penyajian tafsir ala Kiai Sanusi, yaitu beliau selalu mencantumkan
berita-berita yang menggemparkan serta alasan dan kebolehan menulis tafsir
dengan huruf Latin dan bahasa Melayu di setiap jilidnya, karena pada saat itu
tafsir Tamsyiyat ini menjadi bahan perdebatan. Kemudian pada jilid
terakhir, beliau menguraikan beberapa persoalan fikih yang ramai
diperbincangkan saat itu. Persoalan-persoalan fikih yang diuraikan selalu
dikaitkan dengan ayat Al-Qur’an, hadits, dan beberapa tafsir.
Bagaimana nuansa tafsir karya Kiai
Sanusi ini?
Kitab Tafsir Tamsyiyyat karya Kiai Sanusi ini
memiliki nuansa yang banyak. Beliau menguasai berbagai ilmu sehingga tak heran
jika penafsirannya terkadang bernuansa Akidah, fikih, tasawuf, dan lain-lain. Namun,
nuansa fikihlah yang lebih dominan dalam tafsirnya. Hal tersebut dapat kita
cermati tatkala beliau menjelaskan tentang masalah-masalah fikih seperti
persoalan haji dan puasa. Beliau membahas persoalan haji sampai menghabiskan
dua puluh halaman dan persoalan puasa sepuluh halaman. Hal lain yang
menunjukkan bahwa tafsir beliau bernuansa fikih adalah bahwasannya beliau
banyak mengutip pendapat imam madzhab dalam penafsirannya.
Apakah Kiai Sanusi dalam menafsirkan ayat
Al-Qur’an juga merujuk ke kitab-kitab tafsir klasik?
Ya, beliau juga merujuk ke kitab-kitab tafsir klasik
dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an di kitab beliau tersebut. Sumber literatur klasik
yang digunakan oleh beliau dalam kitab tafsirnya tersebut hampir didominasi
oleh referensi klasik Timur Tengah. Contohnya seperti penafsiran dalam surat
al-Baqarah ayat 102 tentang cerita Harut dan Marut, beliau mengutip pendapat
dari beberapa kitab tafsir klasik seperti Tafsir Kabir karya
Fakhrurrazi, tafsir Ruh al-Ma’ani, tafsir Lubab at-Ta’wil, tafsir
Bahrul Muhith, tafsir Ma’alim at-Tanzil, dan tafsir Ibnu Katsir. Akan
tetapi di beberapa tempat, Kiai Sanusi mengutip literatur tafsir
modern/kontemporer seperti Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari.
Berikut daftar literatur klasik yang dijadikan
sumber rujukan oleh tafsirnya Kiai Sanusi tersebut:
1) Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhrurrazi, tafsir
bergenre ‘ilmi dan ‘aqli ijtihadi.
2) Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi, tafsir
bergenre tasawuf, ‘aqli ijtihadi, balaghah, adabi, dan manhaj
bayani.
3) Tafsir Lubab at-Ta’wil karya al-Khazin, tafsir
bergenre tasawuf, menyebut kisah Israiliyat, dan tafsir bil ma’tsur.
4) Tafsir Bahrul Muhith karya Abu Hayan
Muhammad bin Yusuf bin Hayan al-Andalusi, tafsir bergenre lughawi, balaghah,
adabi, ‘aqli ijtihadi, dan menyebutkan kisah Israiliyat.
5) Tafsir Ma’alim at-Tanzil karya al-Baghawi, tafsir
bergenre bil ma’tsur dan menyebutkan kisah Israiliyat.
6) Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim karya Ibn
Katsir, tafsir bergenre bil ma’tsur dan metode tahlili.
7) Tafsir Madarik at-Tanzil karya an-Nasafi, tafsir
bergenre bir-Ra’yi.
8) Tafsir Tanwir al-Miqbas karya Fairuzabadi.
9) Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari, tafsir
bergenre ‘ilmi dan ‘aqli ijtihadi.
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa Kiai
Sanusi lebih dominan menjadikan tafsir-tafsir klasik Timur Tengah bir-Ra’yi
sebagai rujukan dalam penafsirannya.
Penutup
Demikian resensi tentang kitab tafsir ini,
mudah-mudahan dapat menambah wawasan kita tentang dunia tafsir Al-Qur’an dan
dapat menjadikan hati kita makin cinta kepada Indonesia karena telah melahirkan
para ulama yang tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan para ulama Timur
Tengah.
Ditulis oleh Muhdarul Islami Zarnuji
Dikutip dari referensi terpecaya
Catatan:
Mohon kritik dan saran dari pembaca jika menemukan
kekurangan atau kekeliruan dalam tulisan-tulisan blogger demi perbaikan dan
penyempurnaan di masa yang datang (Insya Allah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar