Resensi Kitab Tafsir Berbahasa Melayu Karya Ulama Sunda



Para pembaca yang budiman, pada edisi tulisan kali ini, blogger ingin mengulas suatu karya tulis dalam bidang Tafsir Al-Qur’an asli karya ulama Sunda. Kitab Tafsir yang kita bahas ini berjudul Tamsyiyyatul Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin. Penulis kitab Tafsir ini adalah KH. Ahmad Sanusi. Kitab ini dikarang dengan bahasa Melayu dengan menggunakan huruf  Latin. Mau tahu nggak tentang kitab Tafsir ini? Dalam rangka memperkenalkan pembaca tentang kehebatan karya tulis bidang Tafsir Al-Qur’an karya para ulama Nusantara, yuk kita menyelami isi kitab tafsir ini! Check this out!

Apa artinya judul kitab Tafsir ini?

Kitab Tafsir ini berjudul Tamsyiatul Muslimin fii Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin (Arab: تمشية المسلمين في تفسير كلام رب العالمين) yang artinya “Menggerakkan Seluruh Kaum Muslimin Dalam Memahami Tafsir Firman Rabb Semesta Alam.”

Bagaimana biografi singkat sang penyusun?

           
Sang penyusun yang bernama KH. Ahmad Sanusi atau dikenal dengan sebutan Ajengan Cantayan atau Ajengan Genteng atau Ajengan Gunungpuyuh lahir di Desa Cantayan, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 18 September 1888 adalah tokoh Sarekat Islam dan pendiri Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII), sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, social kemasyarakatan, dan ekonomi. Pada awal pemerintahan Jepang, AII dibubarkan dan secara diam-diam, beliau mendirikan Persatuan Umat IslamIndonesia (PUII). Beliau juga adalah pendiri Pondok Pesantren Syamsul Ulum, Sukabumi. Selain itu, beliau juga pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945.

Kiai Sanusi adalah putera dari Ajengan Haji Abdurrahim bin Yasin, pengasuh pesantren Cantayan di Sukabumi. Sebagai putera seorang ajengan (kiai), beliau telah belajar ilmu-ilmu keislaman sejak masih kanak-kanak. Selain itu, beliau juga banyak belajar dari para santri senior di pesantren ayahnya. Menginjak usia dewasa, kiai Sanusi mulai mengaji di beberapa pesantren di Jawa Barat. Pada usia 20 tahun, beliau menikah dengan Siti Juwariyah binti Haji Afandi yang berasal dari Kebon Pedes, Baros, Sukabumi. Setelah menikah, beliau dikirim ayahnya ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Beliau belajar di sana selama tujuh tahun dan mendapat gelar imam besar Masjidil Haram. Beliau berguru kepada ulama-ulama terkenal, khususnya dari kalangan ulama Jawi (Melayu).

Ketika belajar di Mekkah, Kiai Sanusi telah mengenal ide-ide pembaharuan dari Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, dan Syaikh Jamaluddin Al-Afghani melalui buku-buku dan majalah aliran pembaharuan di Mesir, sehingga pengaruh tersebut menjadikannya ulama pembaharu di Indonesia. Meskipun demikian, beliau tetap tidak meninggalkan madzhab fikihnya. Beliau tetap berpegang teguh dengan madzhab Syafi’i dalam masalah fikih sebagaimana yang dilakukan oleh kedua gurunya, Syaikh Ahmad Khathib dan Syaikh Mukhtar At-Tarid.

Kiai Sanusi dikenal sebagai ulama yang produktif menghasilkan banyak karya tulis/kitab. Jumlah karya tulis/kitab sang kiai telah mencapai 125 judul kitab, baik dalam bidang Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Tauhid/Akidah, fikih, Ilmu Bahasa Arab, Tasawuf, Manthiq, Balaghah, Sejarah, dan lain-lain. Untuk karya tulis beliau dalam bidang Tafsir Al-Qur’an berjumlah 17 karya !!!. Salah satu karya tulis beliau dalam bidang Tafsir akan kita kaji pada pembahasan ini.

Bagaimana latar belakang disusunnya kitab Tafsir ini?

Kitab Tafsir Tamsyiatul Muslimin ini disusun atas permintaan masyarakat luas dan motivasinya sendiri sebagai bentuk dakwah, karena pada saat itu, kiai Sanusi tidak dapat berjumpa dengan masyarakat secara bebas. Dengan demikian, Kiai Sanusi mengungkapkan gagasannya dan menyampaikan ilmunya melalui tulisan. Kitab Tafsir berbahasa Melayu tersebut disusun ketika beliau menjalani tahanan di Kota Sukabumi (sebagai tahanan kota) dan diterbitkan setiap bulan sekali layaknya majalah. Tafsir ini tidak hanya dibaca oleh anggota AII saja, melainkan dibaca pula oleh kalangan birokrat (). Dalam waktu 6 bulan, tepatnya sampai bulan Maret 1935, tafsir ini sudah tersebar sampai ke Bengkulu. Di Bengkulu sendiri terdapat seorang agen yang bernama H. Bachsin Muhsin, sehingga tafsir ini mudah sampai ke Bengkulu. Sedangkan di Batavia Centrum terdapat agen yang bernama M. Gojali, serta di Bandung M. Wirasudarma dan R. Amidjaja. Selain ke Bengkulu, Bandung, dan Batavia Centrum, tafsir ini pun sampai ke Makassar, Palembang, Manggala, biliton, dan Lampung.

Kontroversi Tentang Kitab Tafsir ini

Ada yang menarik untuk diulas dalam resensi ini, yaitu tentang kontroversi seputar kitab tafsir ini. Yap, kita ini ternyata menuai kontroversi yang cukup menarik untuk kita ulas. Apa sih kontroversi yang terjadi terhadap kitab tafsir ini?

Kronologinya begini, kitab tafsir ini ditulis dengan huruf latin dan hanya ditulis sampai cetakan ke-53 (setiap cetakan memuat sekitar 30-35 halaman) dengan halaman terakhir 1478. Penghentian penulisan tafsir ini diduga sebagai pemenuhan persyaratan pembebasan Kiai Sanusi dari statusnya sebagai tahanan kota. Selain itu, mesin cetak yang digunakan disita oleh pemerintah Belanda dan pajak yang harus dikeluarkan terlalu besar. Dengan demikian, Kiai Sanusi hanya menafsirkan sampai surat Al-Maidah ayat 35. Pada awalnya tafsir ini dicetak oleh Al-Ittihad Drukkerij Sukabumi milik AII. Namun, mesin cetak tersebut disita oleh pemerintah Belanda pada bulan Agustus 1937 karena tafsir Tamsyiyat dianggap sebagai alat propaganda AII menuju gerakan politik dan menuai banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Setelah itu, tafsir Tamsyiyat dicetak oleh percetakan Masduki sejak tanggal 5 September 1937.

Kontoversi terhadap tafsir Tamsyiyat muncul akibat Kiai Sanusi mengalihkan huruf Al-Qur’an ke huruf Latin. Pada saat itu, masih banyak masyarakat yang belum mampu membaca huruf  Arab. Oleh karena itu, ajengan Sanusi berinisiatif  untuk memberikan transliterasi ke dalam huruf  Latin di bawah Al-Qur’an yang ditulis dengan aksara Arab dengan tujuan untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Akan tetapi, transliterasi Al-Qur’an ke dalam huruf Latin tersebut dipandang haram oleh pemerintah dan para ulama Pakauman. Salah satu penentang penulisan Al-Qur’an dengan huruf Latin adalah Haji Oestman (baca: Utsman) dari Negeri Perak Malaysia. Haji Oetsman berencara untuk menerbitkan sebuah kitab yang isinya membantah terhadap tafsir Tamsyiyat dengan judul Tashfiyatul Afkar.

Perdebatan antara Kiai Sanusi dengan pihak yang mengharamkan semakin memanas, sehingga mendorong  pejabat setempat untuk mempertemukan dua pihak tersebut. Akan tetapi, sampai tahun 1936, kedua pihak tersebut belum menemukan titik temu karena tajamnya perbedaan pendapat yang dikemukakan. Bahkan, kelompok yang mengharamkan transliterasi Al-Qur’an semakin gencar menyebarluaskan fatwanya kepada masyarakat. Dengan demikian, anggota AII berencana untuk mengadakan debat terbuka sebagai upaya menghindari fitnah serta sangkaan yang tidak baik dan tidak sehat. AII mengundang para pemuka agama Islam dan kelompok yang mengharamkan transliterasi Al-Qur’an. Namun, pertemuan tersebut belum pula membuahkan hasil, sehingga pemerintah membentuk Komite Permusyawaratan Menulis Al-Qur’an Dengan Huruf Latin pada tanggal 4 Oktober 1936. Karena kebimbangan masyarakat pada saat itu pun semakin membesar, komite memutuskan untuk mengadakan diskusi antara kedua pihak pada tanggal 25 Oktober 1936 di Cipelang Gede. Diskusi tersebut tidak hanya dihadiri oleh kelompok Kiai Sanusi  dan kelompok Pakauman, melainkan dihadiri pula oleh berbagai organisasi keislaman dan kalangan pers serta sekitar 15.000 kaum Muslimin. Setelah mendengarkan pendapat dan penjelasan masing-masing pihak, komite memutuskan bahwa mentransliterasi Al-Qur’an ke dalam huruf Latin hukumnya boleh karena tidak ada satu pun ayat, hadits, atau keterangan lain yang mengharamkannya.

Bagaimana metode dan cara Kiai Sanusi dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an di kitab tafsirnya tersebut?

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, beliau menggunakan metode riwayat, yaitu cara menafsirkan ayat dengan menggunakan ayat lain yang memiliki hubungan dengannya atau dengan hadits-hadits. Metode ini adalah metode terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an dan salah satu kitab Tafsir yang menggunakan metode ini adalah kitab Adhwaul Bayan fi Idhah Al-Qur’an bil Qur’an karya ulama berdarah Afrika yang bermukim di Tanah Hijaz (sekarang Arab Saudi), yaitu Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi. Metode Kiai Sanusi ini dapat kita cermati dalam penafsirannya, dimana beliau banyak memasukkan ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas. Terkadang, beliau pun menafsirkan dengan pemikiran (pendapat sendiri), tetapi lebih dominan menggunakan riwayat. Untuk mengetahui metode penafsiran Al-Qur’an, pembaca dapat mempelajarinya di sini.

Adapun cara Kiai Sanusi menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan memenggal setiap kata atau kalimat dalam suatu ayat, teks Arab ditulis dan dicantumkan pula terjemahan di samping teks Arab tersebut. Kemudian di bawah redaksi ayat dan teks terjemahan, diberi tansliterasi Al-Qur’an ke dalam huruf  Latin. Setelah itu, barulah penjelasan/penafsiran terkait ayat yang dikaji.

Untuk tafsir dari beliau tentang surat al-Baqarah, setelah menafsiran surat al-Fatihah, beliau tidak langsung menafsirkan surat al-Baqarah, tetapi memberikan penjelasan terlebih dahulu tentang hukum membaca basmalah, hukum membaca al-Fatihah dan keterangan membaca aamiin sesudah al-Fatihah disertai dalil-dalil yang masyhur. Hal tersebut menunjukkan bahwa K.H. Ahmad Sanusi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai keilmuan, seperti hadits dan fikih.

Ada yang menarik untuk kita ketahui tentang cara penyajian tafsir ala Kiai Sanusi, yaitu beliau selalu mencantumkan berita-berita yang menggemparkan serta alasan dan kebolehan menulis tafsir dengan huruf Latin dan bahasa Melayu di setiap jilidnya, karena pada saat itu tafsir Tamsyiyat ini menjadi bahan perdebatan. Kemudian pada jilid terakhir, beliau menguraikan beberapa persoalan fikih yang ramai diperbincangkan saat itu. Persoalan-persoalan fikih yang diuraikan selalu dikaitkan dengan ayat Al-Qur’an, hadits, dan beberapa tafsir.

Bagaimana nuansa tafsir karya Kiai Sanusi ini?

Kitab Tafsir Tamsyiyyat karya Kiai Sanusi ini memiliki nuansa yang banyak. Beliau menguasai berbagai ilmu sehingga tak heran jika penafsirannya terkadang bernuansa Akidah, fikih, tasawuf, dan lain-lain. Namun, nuansa fikihlah yang lebih dominan dalam tafsirnya. Hal tersebut dapat kita cermati tatkala beliau menjelaskan tentang masalah-masalah fikih seperti persoalan haji dan puasa. Beliau membahas persoalan haji sampai menghabiskan dua puluh halaman dan persoalan puasa sepuluh halaman. Hal lain yang menunjukkan bahwa tafsir beliau bernuansa fikih adalah bahwasannya beliau banyak mengutip pendapat imam madzhab dalam penafsirannya.

Apakah Kiai Sanusi dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an juga merujuk ke kitab-kitab tafsir klasik?

Ya, beliau juga merujuk ke kitab-kitab tafsir klasik dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an di kitab beliau tersebut. Sumber literatur klasik yang digunakan oleh beliau dalam kitab tafsirnya tersebut hampir didominasi oleh referensi klasik Timur Tengah. Contohnya seperti penafsiran dalam surat al-Baqarah ayat 102 tentang cerita Harut dan Marut, beliau mengutip pendapat dari beberapa kitab tafsir klasik seperti Tafsir Kabir karya Fakhrurrazi, tafsir Ruh al-Ma’ani, tafsir Lubab at-Ta’wil, tafsir Bahrul Muhith, tafsir Ma’alim at-Tanzil, dan tafsir Ibnu Katsir. Akan tetapi di beberapa tempat, Kiai Sanusi mengutip literatur tafsir modern/kontemporer seperti Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari.

Berikut daftar literatur klasik yang dijadikan sumber rujukan oleh tafsirnya Kiai Sanusi tersebut:

1) Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhrurrazi, tafsir bergenre ‘ilmi dan ‘aqli ijtihadi.

2) Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi, tafsir bergenre tasawuf, ‘aqli ijtihadi, balaghah, adabi,  dan manhaj bayani.

3) Tafsir Lubab at-Ta’wil karya al-Khazin, tafsir bergenre tasawuf, menyebut kisah Israiliyat,  dan tafsir bil ma’tsur.

4) Tafsir Bahrul Muhith karya Abu Hayan Muhammad bin Yusuf bin Hayan al-Andalusi, tafsir bergenre lughawi, balaghah, adabi, ‘aqli ijtihadi, dan menyebutkan kisah Israiliyat.

5) Tafsir Ma’alim at-Tanzil karya al-Baghawi, tafsir bergenre bil ma’tsur dan menyebutkan kisah Israiliyat.

6) Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim karya Ibn Katsir, tafsir bergenre bil ma’tsur dan metode tahlili.

7) Tafsir Madarik at-Tanzil karya an-Nasafi, tafsir bergenre bir-Ra’yi.

8) Tafsir Tanwir al-Miqbas karya Fairuzabadi.

9) Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari, tafsir bergenre ‘ilmi dan ‘aqli ijtihadi.

Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa Kiai Sanusi lebih dominan menjadikan tafsir-tafsir klasik Timur Tengah bir-Ra’yi sebagai rujukan dalam penafsirannya.

Penutup

Demikian resensi tentang kitab tafsir ini, mudah-mudahan dapat menambah wawasan kita tentang dunia tafsir Al-Qur’an dan dapat menjadikan hati kita makin cinta kepada Indonesia karena telah melahirkan para ulama yang tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan para ulama Timur Tengah.

Ditulis oleh Muhdarul Islami Zarnuji

Dikutip dari referensi terpecaya

Catatan:
Mohon kritik dan saran dari pembaca jika menemukan kekurangan atau kekeliruan dalam tulisan-tulisan blogger demi perbaikan dan penyempurnaan di masa yang datang (Insya Allah).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar