Pembaca yang budiman, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama sebagai umat Islam di Indonesia bahwasannya kita adalah populasi umat Islam terbanyak di dunia. Tetapi, ternyata kita tidak hanya berjumlah banyak, akan tetapi Negara kita juga melahirkan talenta ulama-ulama besar yang tidak kalah dari para ulama timur tengah dan Persia dalam memiliki pamor keilmuan dalam studi Islam. Hal itu terbukti dari banyaknya karya-karya tulis yang disusun oleh para ulama dari negeri kita, baik dalam bahasa Arab, bahasa Melayu/Indonesia, atau bahasa daerah. Pada kesempatan kali ini, kita akan mengenal lebih dalam tentang salah satu karya tulis masterpiece dalam salah satu bidang disiplin ilmu keislaman yaitu ilmu tafsir al-Qur’an yang mana karya tulis ini merupakan buku tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dengan bahasa Melayu, yaitu berjudul Tarjuman al-Mustafid. Pengarang kitab tersebut adalah salah satu ulama Aceh abad ke-17, yaitu Syaikh ‘Abdur Rauf bin ‘Ali al-Fanshuri as-Sinkili al-Jawi. Kita langsung saja ke pembahasannya:
1.
Tentang
Kitab Tarjuman al-Mustafid
Kitab Tarjuman al-Mustafid
adalah kitab tafsir al-Qur’an Nusantara yang lengkap, berbahasa Melayu, dan
dikenal sebagai kitab tafsir pertama terlengkap di Nusantara, Kitab ini
dinamakan Tarjuman al-Mustafid yang secara bahasa artinya adalah
“Penjelasan Tentang al-Qur’an yang Bermanfaat.” Kitab ini disusun menggunakan
bahasa Melayu. Hal ini mengindikasikan bahwa Melayu sangat identik dengan Islam
karena memang persentuhan Melayu dengan Islam sudah terjadi sejak awal lahirnya
Melayu di tanah Malaya. Kerajaan Islam pertama di Indonesia yang terletak di
Aceh juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan, sehingga
semua literatur ditulis dengan bahasa Melayu dan bahasa Arab. Salinan awal
kitab ini berasal dari abad ke-17 dan abad ke-18. Bahkan edisi cetaknya diterbitkan
di Singapura, Penang, Jakarta, Bombay, dan Timur Tengah. Di Istanbul, kitab ini
dicetak oleh Mathba’ah al-‘Ustmaniyyah pada tahun 1302 H/1884 M dan 1324
H/1906. Di Kairo diterbitkan oleh Sulaiman al-Maraghi dan di Mekkah oleh
al-‘Amiriyyah. Sedangkan edisi terakhir diterbitkan di Jakarta pada tahun 1981.
Hal ini menunjukan bahwa kitab ini masih dipergunakan oleh kaum Muslimin
Indonesia.
Mengenai pembahasan tafsir dalam
kitab ini, para peneliti berbeda pendapat tentang persoalan ini. Snouck
Hurgronje, diikuti oleh D.A. Rinkes dan Voorhoave berpendapat bahwa tafsir Tarjuman
al-Mustafid ini merupakan terjemahan dari kitab Tafsir berjudul Anwar
at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil yang dikarang oleh al-Baidhawi (w. 685 H/1286
M) dan terkenal dengan nama Tafsir al-Baidhawi. Argumentasi mereka
adalah bahwa di cover kitab tersebut telah disebutkan bahwa kitab ini adalah
terjemahan dari Tafsir al-Baidhawi tanpa melakukan penelusuran lebih
lanjut tentang kebenaran hal itu. Sedangkan Peter Riddel dan Salman Harun
berpendapat bahwa kitab ini merupakan terjemahan dari kitab Tafsir
al-Jalalain. Namun telah mengalami penambahan dan pengurangan pada
tempat-tempat tertentu. Senada dengan ini Azyumardi Azra juga berpandangan
sama. Menurutnya, Tafsir al-Jalalain lebih memungkinkan dijadikan
rujukan oleh Syaikh ‘Abdur Rauf karena dia memiliki silsilah keilmuan yang
terhubung langsung kepada pengarang tafsir tersebut.
2.
Biografi
Penulis
Bernama lengkap Syaikh Aminuddin
Abdur Rauf bin ‘Ali al-Fanshuri as-Sinkili al-Jawi, beliau lahir di Singkil,
Aceh pada tahun 1024 H/1615 M. beliau adalah ulama besar Kesultanan Aceh yang
terkenal. Beliau memiliki pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di
Sumatera dan Nusantara umumnya. Beliau bergelar Teungku Syiah Kuala
(bahasa Aceh: Syaikh Ulama dari Kuala) yang mana gelar beliau sekarang
diabadikan menjadi nama universitas negeri di Aceh, yaitu Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh. Beliau menuntut ilmu agama pertama kali dari ayahnya sendiri
yang merupakan seorang ulama yang mendirikan madrasah kemudian menarik
murid-murid dari berbagai tempat di Kesultanan Aceh. Kemudian beliau belajar
kepada para ulama di Fansur dan Banda Aceh. Tidak hanya sampai di situ, beliau
juga melanjutkan destinasi menuntut ilmu agama di Jazirah Arab mulai tahun 1642
H pada usia 27 tahun. Beliau berkelana di negeri-negeri di Jazirah Arab seperti
Dhoha, Yaman, dan Arab Saudi.
Guru-guru beliau selama di Jazirah
Arab adalah Syaikh ‘Abdul Qadir Maurir, Syaikh Ibrahim bin Abdullah bin Ja’man,
Syaikh ‘Abdurrahim bin ash-Shiddiq al-Khash, Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad
al-‘Adani, Syaikh ‘Abdul Qadir al-Barkhali, Syaikh ‘Ali bin ‘Abdul Qadir
ath-Thabari, Syaikh ‘Isa al-Maghribi, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz az-Zamzami, Syaikh
Tajuddin bin Ya’qub, Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, Syaikh Ibrahim al-Kurani, dan
lain-lain dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman seperti fiqih, tafsir,
hadits, kalam, dan tasawwuf.
Setelah berkelana menuntut ilmu
selama 19 tahun, beliau akhirnya kembali ke kampung halamannya di Kesultanan
Aceh. Sesampainya beliau di sana, beliau mendapatkan jabatan dari pihak
kesultanan sebagai mufti kesultanan. Beliau juga menyebarkan dan mengembangkan
tariqat Syattariyah yang mana beliau dapatkan dan ambil ilmunya dari gurunya di
Mekkah yaitu Syaikh Ahmad al-Qusyasyi. Beliau memiliki murid-murid yang menjadi
ulama-ulama di Nusantara seperti Syaikh Burhanuddin Urakan (Pariaman, Sumatera
Barat) dan Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya, Jawa Barat). Selain
menyebarkan ilmu dan tariqat, beliau juga aktif menyusun karya tulis hingga
berjumlah 22 kitab/buku dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman. Di
antaranya adalah Mir’atut Thullab fi Tasyil Ma’rifah al-Ahkam asy-Syar’iyyah
li al-Malik al-Wahhab (fiqih), Tarjuman al-Mustafid (Tafsir al-Qur’an),
Terjemahan Hadits Arba’in karya Imam an-Nawawi (hadits), Mawa’izh
al-Badi’, Tanbih al-Masyi, Daqaiq al-Hurf (Tashawuf), dan Kifayatul
Muhtajin Ila Masyrah al-Muwahhidin al-Qailin bi Wahdatil Wujud (Aqidah).
Beliau meninggal pada tahun 1693 M
pada usia 73 tahun. Beliau dimakamkan di masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh,
desa Dayah Raya, Kecamatan Kuala, sekitar 15 km dari Banda Aceh.
3.
Latar
Belakang Penulisan Kitab
Penulis kitab ini, yaitu Syaikh ‘Abdur
Rauf as-Sinkili menulis kitab ketika beliau menjalani perannya sebagai Qadhi atau
Mufti di Kesultanan Aceh. Perannya tersebut memberinya wewenang yang cukup luas
dan tanggungjawab yang besar di bidang keagamaan. Memang tidak ada sumber
tertulis maupun penelitian yang menyebutkan alasan beliau menulis tafsir ini. Namun
menilik kondisi masyarakat Aceh ketika itu yang sangat menginginkan adanya
sumber atau rujukan agama khususnya dalam bahasa Melayu. Di sisi lain,
masyarakat juga dihadapkan dengan problem-problem yang muncul akibat adanya
penafsiran –penafsiran sufistik yang dikembangkan oleh golongan wahdatul
wujud. Tidak hanya itu, munculnya pemikiran dan sikap agresif ar-Raniri di
tengah-tengah masyarakat memunculkan kekisruhan yang mengarah kepada
pertumpahan darah. Menurut ar-Raniri, Islam di Aceh telah dikacaukan oleh kesalahpahaman
atas doktrin sufi (baca: wahdatul wujud) sehingga ia mencurahkan
tenaganya untuk menentang doktrin wujudiyah, bahkan mengeluarkan fatwa yang
mengarah kepada perburuan orang-orang sesat; membunuh orang-orang yang
meninggalkan berbagai praktek sesat dan membakar buku-buku mereka.
Kondisi di atas mengunggah hati
penulis untuk menulis tafsir berbahasa Melayu untuk membantu masyarakat
memahami ajaran Islam. Karena selama ini, jika seseorang ingin memahami al-Qur’an,
harus terlebih dahulu belajar bahasa Arab dan merujuk kepada pendapat para
ulama. Namun, adanya tafsir ini memudahkan masyarakat dalam mendalami
kandungan-kandungan al-Qur’an.
4.
Sumber
Rujukan Penafsiran
Dalam membahas tafsir al-Qur’an
dalam kitab ini, penulis merujuk kepada beberapa kitab-kitab tafsir berikut
ini: 1) Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil (Tafsir al-Baidhawi)
karya Imam al-Baidhawi (w. 691 H), 2) Manafi’ al-Qur’an, 3) Lubab
at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil karya Imam al-Khazin (w. 741 H), 4) al-Kasyfu
wa al-Bayan ‘An Tafsir al-Qur’an karya Imam ats-Tsa’labi (w. 429/430 H), dan
5) Tafsir al-Jalalain karya Imam al-Mahalli (w. 864 H) dan Imam
as-Suyuthi (w. 911 H).
5.
Metode
Penafsiran al-Qur’an
Naskah kitab Tarjuman al-Mustafid
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an,
penulis selalu terlebih dahulu memperkenalkan surat yang akan ditafsirkan. Beliau
memperkenalkan surat yang ditafsirkan dengan menjelaskan kronologis ayatnya
terlebih dahulu, artinya menjelaskan nama suratnya, jumlah ayatnya, tempat
turunnya, kemudian menjelaskan bagaimana penjelasan Imam al-Baidhawi terhadap
surat tersebut. Setelah itu, ketika menjelaskan ayat, penulis terlebih dahulu
memulai dengan basmalah, kemudian baru menjelaskan ayat.
Dalam teknik menafsirkan al-Qur’an,
penulis menempuh metode tahlili yaitu metode menafsirkan al-Qur’an
dengan menjelaskan aspek-aspek yang dikandung oleh ayat yang ditafsirkan secara
luas dan rinci, seperti penjelasan kosakata, latar belakang turunnya ayat
(asbabun nuzul), nasikh mansukh, dan munasabat. Dalam kitab ini, penulis
menempuh metode tersebut dengan beliau menjelaskan ayat-ayat secara berurutan,
kemudian menjelaskan makna-makna secara harfiyah, aspek-aspek yang dikandung
oleh ayat yang ditafsirkan tersebut, asbabun nuzul, uraian bacaan para imam
Qiraat, dan hubungan antar ayat dengan qisah-qisah sebelumnya. Penulis tidak menyertakan
dengan penjelasan-penjelasan seperti penjelasan dari hadits-hadits dan
ayat-ayat lain yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Tentang corak penafsiran al-Qur’an,
penulis tidak terpaku pada satu corak penafsiran. Dalam kajian ulum al-Qur’an,
bahwasannya kajian tafsir al-Qur’an memiliki banyak corak penafsiran. Penulis menggunakan
corak penafsiran secara umum. Artinya, penafsiran yang diberikan tidak mengacu
pada satu corak tertentu seperti fiqih, filsafat, dan adab bi al-Ijtima’. Namun
tafsirnya mencakup berbagai corak sesuai dengan kandungan ayat yang
ditafsirkan. Jika sampai ayat tentang fiqih, penulis akan mengungkapkan
hukum-hukum fiqih. Jika sampai pada ayat tentang aqidah, pembahasan tentang
aqidah akan dikupas dalam porsi yang cukup dalam tafsir ayat tersebut. Hal ini
disebabkan karena penulis sebagaimana yang telah saya utarakan, memiliki
penguasaan di berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman sehingga berdampak pada lahirnya
faedah-faedah dari berbagai disiplin ilmu dari kajian tafsir beliau.
Demikian ulasan tentang kitab tafsir
masterpiece ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Dikutip dari berbagai referensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar