Tingkatan-Tingkatan Para Mujtahid/Fuqaha (Pakar Fiqih)




Di status sebelumnya, penulis telah membahas ijtihad. Sekarang, penulis ingin membahas tingkatan-tingkatan mujtahid atau tingkatan-tingkatan pakar fiqih yang dalam bahasa Arabnya adalah para fuqaha. Ternyata para mujtahid memiliki tingkatan-tingkatan yang mana tingkatan-tingkatan mereka disesuaikan dengan kapasitas mereka dalam berijtihad, baik dalam metode mereka dalam berinteraksi dengan dalil-dalil, menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan fuqaha, atau menemukan hukum-hukum atas masalah-masalah fiqih yang belum ditemukan sebelumnya dan baru muncul di zaman kemudian. Mau tahu apa saja tingkatan-tingkatan para mujtahid atau para fuqaha? Yuk kita ngaji !!!

Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili (pakar fiqih dan ushul fiqih berkebangsaan Suriah) dalam pengantar beliau terhadap kitab beliau Mausu'ah al-Fiqhi al-Islami wal Qadhaya al-Mu'asharah (1/58-59) memaparkan ada 5 tingkatan mujtahid atau fuqaha, yaitu:

Tingkatan pertama, mujtahid mustaqil.

Yaitu para mujtahid/fuqaha yang menyusun sendiri kaedah-kaedah ijtihad mereka yang mana mereka membangun hukum-hukum fiqih di atasnya. Contohnya imam empat madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal).

Tingkatan kedua, mujtahid muthlaq ghairu mustaqil.

Yaitu para mujtahid yang telah terpenuhi syarat-syarat ijtihad yang telah dirumuskan oleh para fuqaha kalangan mujtahid mustaqil, akan tetapi mereka tidak membangun kaedah ijtihad untuk mereka. Tetapi, mereka mengikuti metodologi ijtihad para imam empat madzhab dalam berijtihad. Maka dari itulah mereka dinamakan mujtahid muthlaq muntashib (mujtahid yang telah terpenuhi syarat-syarat ijtihad akan tetapi merujuk kepada metodologi ijtihad imam empat madzhab). Contoh para fuqaha atau para mujtahid yang termasuk tingkatan ini adalah para murid imam empat madzhab seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, dan Zafar dari kalangan madzhab Hanafiyyah, Ibnul Qasim, Asyhub, dan Asad bin Furat dari kalangan madzhab Malikiyyah, al-Buwaithi dan al-Muzanni dari kalangan madzhab Syafi'iyyah, Abu Bakr al-Atsram, Abu Bakr al-Marwadzi dari kalangan madzhab Hanabilah.

Mereka-mereka di atas memiliki penguasaan terhadap istikhraj (mengeluarkan) hukum-hukum dari dalil-dalil berdasarkan kaedah-kaedah yang telah dirumuskan oleh para guru mereka (para imam empat madzhab) meskipun mereka menyelisihi guru-guru mereka di beberapa permasalahan furu'iyyah (cabang) dan mereka tetap taqlid terhadap guru-guru mereka dalam permasalahan ushul (pondasi).

Nah, perlu pembaca ketahui bahwasannya dua tingkatan di atas tidak dapat lagi diraih di zaman setelah para mujtahid muthlaq ghaira mustaqil. Jadi, kalau setelah mereka saja telah tertutup ijtihad secara tersendiri maksudnya langsung berijtihad dari Al-Qur'an dan hadits, apalagi di zaman now. Makanya slogan "kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits" lumayan menimbulkan masalah. Apa masalahnya? Masalahnya kita ini tidak memiliki kapasitas apa-apa dalam berijtihad langsung dari Al-Qur'an dan Hadits karena kita sendiri tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad. Kalaupun syarat-syarat ijtihad telah terpenuhi, tetap aja berbagai masalah fiqih telah dibahas tuntas oleh para fuqaha meskipun menimbulkan argumentasi yang berbeda. Jadi, kita hanya diminta memilih pendapat yang terkuat dari argumentasi-argumentasi para fuqaha atau bahasa ushul fiqihnya mentarjih. Itupun lagi-lagi kita tidak memiliki kapasitas dalam hal tersebut karena urusan mentarjih adalah urusan berat. Sebagaimana yang telah penulis paparkan di pembahasan sebelumnya bahwa mujtahid harus memenuhi syarat-syarat untuk bisa berijtihad. Masalahnya apakah syarat-syarat berijtihad telah terpenuhi pada diri kita? Maka dari itulah, jika syarat-syarat berijtihad tidak terpenuhi pada diri kita, maka bagaimana mungkin kita dapat mentarjih?

Tingkatan ketiga, mujtahid muqayyad.

Yaitu para mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum fiqih yang belum dikeluarkan oleh para mujtahid mustaqil (imam-imam empat madzhab) atau para mujtahid muthlaq (murid-murid para imam empat madzhab). Pendapat mereka ini dinamakan wujuh atau qaul dan pendapat mereka ini disandarkan kepada ashhab (para fuqaha madzhab), bukan kepada imam madzhab dan dua istilah tadi dipakai dalam madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Contoh para fuqaha atau para mujtahid yang termasuk tingkatan ini adalah al-Khasaf, ath-Thahawi, al-Karakhi, al-Hulwani, as-Sarakhsi, al-Bazdawi, dan Qadhi Khan dari kalangan madzhab Hanafiyyah, al-Abhari dan Ibnu Abi Zaid al-Qairawani dari kalangan madzhab Malikiyyah, Abu Ishaq as-Syairazi, al-Marwadzi, Muhammad bin Jarir, Abu Nashr, dan Ibnu Khuzaimah dari kalangan madzhab Syafi'iyyah, al-Qadhi Abu Ya'la dan al-Qadhi Abi 'Ali bin Abu Musa dari kalangan madzhab Hanabilah.

Tingkatan keempat, mujtahid tarjih.

Yaitu para mujtahid yang memiliki kemampuan mengambil pendapat terkuat atau bahasa fuqahanya mentarjih pendapat dari suatu madzhab dari pendapat pendapat-pendapat berbagai madzhab atau mentarjih atau pendapat imam madzhab dengan pendapat para muridnya atau pendapat para imam madzhab yang lain.
Para mujtahid atau para fuqaha yang termasuk tingkatan ini adalah al-Qaduri dan al-Marghinani dari kalangan madzhab Hanafiyyah, al-'Allamah Khalil dari kalangan madzhab Malikiyyah, ar-Rafi'i dan an-Nawawi dari kalangan madzhab Syafi'iyyah, al-Qadhi 'Alauddin al-Mardawi (munaqqih) dan Abu al-Khaththab Mahfuzh bin Ahmad al-Kalwadzi al-Baghdadi dari kalangan madzhab Hanabilah.

Tingkatan kelima, mujtahid fatwa.

Yaitu para fuqaha atau para mujtahid yang memiliki kemampuan menjaga madzhab imamnya, menukil pendapat-pendapat dari mereka, memahami pendapat-pendapat yang wadhih (jelas) dan pendapat-pendapat yang musykil (bermasalah), mampu membedakan antara pendapat yang terkuat dengan pendapat yang lemah, pendapat yang rajih dan pendapat yang marjuh, akan tetapi kelemahan mereka adalah mereka lemah dalam menganalisa dalil-dalil dan tahrir aqyisah.

Para mujtahid yang termasuk tingkatan ini adalah para ulama yang penyusun kitab-kitab pegangan para pelajar ilmu fiqih seperti penyusun kitab Kanzud Daqaiq, penyusun kitab ad-Durr al-Mukhtar, penyusun kitab al-Wiqayah, dan penyusun kitab Majma'ul Anhar dari kalangan Madzhab Hanafiyyah, Ar-Ramli dan Ibnu Hajar dari kalangan madzhab Syafi'iyyah.

Demikianlah tulisan ini saya susun. Semoga mencerahkan.

Pembahasan ini dikutip dari kitab Mausu'ah al-Fiqhi al-Islami wal Qadhaya al-Mu'asharah (1/58-59).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar