Pembaca yang budiman, Penulis ingin
membahas permasalahan fiqih klasik. kalau kita umpamanya safar ke negeri-negeri
yang tidak ditegakkan shalat berjamaah di masjid, kita kesulitan mendapat
masjid untuk melaksakan shalat dan kita tidak mendengar kumandang adzan, dan
kondisi di sana mendung.
Berikut ini adalah tipsnya:
Siapa saja yang tidak dapat
mendeteksi waktu shalat karena mendung atau umpamanya di penjara, sementara
tidak ada orang terpecaya misalnya ustadz, santri, dan yang ahli agama yang
memberitahukan tentang hal tersebut, maka dia dapat berijtihad dalam
memperkirakan waktu shalat dengan melihat keadaan. Kalau ada lantunan ayat suci
Al-Qur'an, atau kalau tiba-tiba melihat orang shalat, atau pokoknya dia dapat
melihat kondisi untuk memperkirakan waktu shalatnya, maka dia beramal berdasarkan
prasangkanya.
Ingat, ijtihad di sini beda dengan
ijtihad dalam pembahasan ushul fiqih. Dalam pembahasan ushul fiqih, ijtihad itu
adalah mencurahkan segara pikiran dan kemampuan dalam menganalisa hukum syariat
dan ijtihad menurut para fuqaha (para pakar fiqih) dan para ushuliyyin (para
pakar ushul fiqih) tidak boleh dilakukan oleh orang awam. Hanya orang yang
memiliki kapasitas berijtihad saja yang dipersilahkan untuk berijtihad. Berbeda
halnya dengan ijtihad dalam pembahasan ini. Dalam pembahasan ini, ijtihad dapat
dilakukan karena memang darurat bagi orang awam mengingat shalat itu wajib
dilaksanakan, sementara kebetulan mendung dan dia tidak tahu bagaimana cara
menentukannya plus tidak ada jam tangan atau jam di dinding bangunan di tempat
yang dia singgah (ini mah terjadi di jaman tempo doeloe), tidak ditemukan pula
pakar fiqih atau pakar waktu shalat yang bisa ditemui, maka dia dalam kondisi
tersebut dapat berijtihad.
Berijtihad dalam menentukan waktu
shalat seperti keluar untuk melihat fajar dan matahari (kedua-duanya merupakan
patokan klasik dalam menentukan waktu shalat) menjadi wajib jika dia tidak
mampu untuk yakin dan menjadi boleh jika dia mampu.
Jika yang berijtihad dikabarkan oleh
orang yang terpercaya tentang waktu shalat dalam kondisi mendung, maka dia
amalkan karena itu adalah berita yang dikabarkan kepada yang berijtihad dari
orang yang terpercaya. Adapun jika yang mengabarkan kepadanya adalah orang awam
yang juga berijtihad, maka jangan diikuti ijtihadnya karena: ( المجتهد لا يقلد مجتهدا آخر) "Seorang
mujtahid tidak taqlid (mengikuti) kepada mujtahid yang lain."
Jika dia ragu terhadap masuknya
waktu shalat, maka jangan dia shalat sampai yakin akan masuknya waktu shalat
atau setelah berijtihad, ternyata prasangka besarnya adalah masuknya waktu
shalat. Dianjurkan pula untuk mengakhirkan waktu shalatnya dalam rangka
kehati-hatian kecuali dia khawatir akan keluarnya waktu shalat.
Pertanyaan: Bagaimana kalau
seumpamanya dalam safar, saya telah melaksanakan shalat berdasarkan petunjuk
dari ustadz berdasarkan analisanya. Setelah shalat, saya baru dikasih tahu oleh
ustadz yang satunya lagi yang level ilmunya di atas ilmu ustadz yang pertama
plus ustadz yang kedua ini juga ahli waktu shalat bahwa saya ternyata saya
shalatnya belum di waktunya. Bagaimana sikap saya?
Jawaban: Kalau menurut ulama madzhab
Syafi'iyyah dan kebanyakan fuqaha, shalat anda diqadha (diganti) berdasarkan
riwayat dari Ibnu Umar dan Abu Musa (dua sahabat Nabi) bahwasannya mereka
mengulangi shalat subuh mereka karena ternyata shalat mereka dilaksanakan di
luar waktu.
Demikian kajian kita pada artikel kali ini. Semoga mencerahkan dan selamat diamalkan 🙏.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar