Ijtihad adalah mencurahkan segala
fikiran untuk mengeluarkan hukum Syariah atau bahasa mudahnya kita berusaha
mencari hukum-hukum Syariah yang kemudian kita simpulkan dan kita fatwakan.
Umpamanya ada masalah-masalah fiqih kekinian contohnya masalah bunga bank.
Untuk menentukan hukumnya, kita musti berijtihad. Bagaimana caranya kita
berijtihad? Cara kita berijtihad adalah kita fahami dulu skema transaksi bunga
bank seperti apa sih, kemudian kita cari dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadits
yang membahas tentang masalah yang berkaitan dengan bunga atau bahasa ushul
fiqihnya istinbath, kemudian kita simpulkan hukum dari keduanya, baru kita
hukumi bunga bank karena dalil ini dan itu dan korelasi antara bunga dengan
masalah pada saat itu di dalil tersebut. Sudah fahamkan maksud ijtihad itu?
Orang yang melakukan ijtihad
dinamakan mujtahid sedangkan hasil dari ijtihad dinamakan dengan fatwa. Apakah
semua dari kita boleh berijtihad? Mari kita baca dulu pembahasan berikutnya !!!
👍 Apa
syarat-syarat seseorang dapat menjadi mujtahid/dapat berijtihad?
Syarat pertama, harus menguasai
bahasa Arab.
Seorang mujtahid wajib menguasai
bahasa Arab. Wong Al-Qur'an dan hadits aja dalam bahasa Arab, bagaimana
ceritanya satu kosakata aja dalam bahasa Arab dia belum hafal, kemudian
tiba-tiba dia bilang saya sama aja dengan imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Al-Muzani, Imam Al-Mawardi, Imam Al-Ghazali,
Imam An-Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam As-Suyuthi, Imam As-Subki,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan lain-lain.
Kenapa mujtahid wajib menguasai
bahasa Arab? Karena jika kita tidak dapat berbahasa Arab, maka bagaimana
mungkin kita dapat memahami Al-Qur'an dan hadits. Ada dalil yang disimpulkan
hukumnya dari aspek bahasa Arab, atau gramatika bahasa Arabnya atau bahasa pesantrennya
aspek ilmu nahwu, atau dari aspek sastra Arabnya atau kalau di pesantren, kita
mengkajinya lewat ilmu balaghah. Pahamkan?
Syarat kedua, memiliki keilmuan
terhadap Al-Qur'an Al-Karim.
Seorang mujtahid mesti menguasai
ayat-ayat Al-Qur'an jika ingin berijtihad karena Al-Qur'an sendiri adalah
sumber utama dalam berijtihad.
Apakah semua ayat dalam Al-Qur'an
harus dikuasai? Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (pakar fiqih dan ushul
fiqih berkebangsaan Arab Saudi) berpendapat cukup ayat-ayat ahkam saja yang
dikuasai oleh mujtahid.
Apakah harus dihafal ayat-ayat ahkam
tersebut? Syaikh Prof. Dr. Abdul Karim An-Namlah (Guru besar ushul fiqih
berkebangsaan Arab Saudi) berpendapat tidak harus dihafal, tetapi cukup kita
mengetahui saja posisi ayat-ayat ahkam tersebut. Eits, ingat ya, harus kita
tahu posisi ayat-ayat ahkam. Masalahnya kita-kita ini sebagai orang awam jarang
ngaji. Jadi, jangan ngaco kita bisa berijtihad dengan modal pengetahuan ayat
Al-Qur'an aja, wong kita aja kagak tahu ayat-ayat tersebut. Kemudian, ayat-ayat
Ahkam menurut Syaikh Dr. Abdul Karim Zaidan jumlahnya tidak terbatas. Bisa saja
seorang mujtahid dapat menggali hukum secara mendalam dari ayat yang zhahirnya
merupakan ayat-ayat kisah. Belum lagi harus dipastikan bahwa ayat tersebut bisa
jadi ayat yang sudah mansukh (terhapus hukumnya) atau ada ayat-ayat yang saling
bertentangan atau ayat tersebut harus diketahui asbabun nuzulnya untuk dapat
digali hukum darinya. Jadi, tidak sembarang kita dapat berijtihad dari ayat
Al-Qur'an. Belum lagi syarat-syarat lain yang nanti dibahas yang harus dikuasai
oleh mujtahid.
Syarat ketiga, memiliki penguasaan
terhadap hadits-hadits atau sunnah.
Seorang mujtahid harus menguasai
hadist-hadits ahkam seperti harus menghafalnya atau mengetahuinya, mengetahui
kevaliditas hadits tersebut, mampu mentakhrij (meneliti) hadits tersebut, harus
memiliki pengetahuan terhadap rawi-rawi dalam hadits-hadits tersebut. Berat
bukan?
Berapa jumlah hadits-hadits ahkam?
Jumlahnya sangat banyak, bahkan hadits-hadits yang secara zhahir tidak
menunjukkan hukum bisa digali hukumnya oleh mujtahid. Maka dari itulah, kita
harus tahu diri kapasitas diri kita. Jangan sampai mentang-mentang slogannya
kembali Al-Qur'an dan hadits, sedangkan satu hadits aja mana dia hafal, terus
ketika disodori ikhtilaf fuqaha, dia lari terbirit-terbirit. Makanya tahu diri
dong !!!
Syarat keempat, harus menguasai
permasalahan-permasalahan yang telah disepakati oleh seluruh ulama atau bahasa
ushul fiqihnya mencapai derajat ijma'.
Ini juga kudu wajib dikuasai oleh
mujtahid, yaitu harus menguasai permasalahan-permasalahan yang telah disepakati
oleh seluruh ulama atau bahasa ushul fiqihnya mencapai derajat ijma'. Kenapa
mujtahid wajib tahu syarat ini? Karena syarat ini sangat berpengaruh kepada
metodologi ijtihadnya. Bisa-bisa dia telah menyimpulkan hukum dari suatu dalil
atau bahasa ushul fiqihnya istinbath, kemudian setelah diperiksa di kitab-kitab
fiqih berbagai madzhab, ternyata hukum yang dia simpulkan menyelisihi ijma'
ulama terhadap hukum dari dalil yang dikaji. Makanya, untuk syarat ini,
mujtahid wajib memperbanyak referensi alias dalam bahasa santri, rajin
muthala'ah kitab-kitab fiqih berbagai madzhab. Jangan baru khatam satu kitab
fiqih, dia berani bilang aku berhak untuk berijtihad. P
Syarat kelima, harus menguasai ilmu
ushul fiqih.
Inilah syarat sangat penting bagi
mujtahid, yaitu wajib baginya untuk menguasai ilmu ushul fiqih. Ushul fiqih itu
ilmu apa ya? Itu adalah suatu cabang ilmu yang mengkaji metodologi istinbath
(mengambil hukum) dari Al-Qur'an dan hadits. Jadi, tidak mungkin kita dapat
berijtihad dari Al-Qur'an dan hadits kecuali harus menguasai ilmu ini. Why?
Supaya kita dapat beristinbath dari Al-Qur'an dan hadits dengan ilmu ini.
Saya kasih gambarannya:
1) bagaimana caranya kita mengetahui dalil-dalil ini mengandung umum dan
mengandung khusus?
2) Bagaimana caranya kita mengetahui dalil-dalil mutlak dan yang terikat?
3) bagaimana caranya kita mampu menggabungkan dalil-dalil yang saling bertentangan?
4) bagaimana cara kita menghukumi suatu permasalahan yang tidak kita temukan hukumnya baik di Al-Qur'an dan di hadits?
3) bagaimana caranya kita mampu menggabungkan dalil-dalil yang saling bertentangan?
4) bagaimana cara kita menghukumi suatu permasalahan yang tidak kita temukan hukumnya baik di Al-Qur'an dan di hadits?
Semua gambaran di atas dapat
diselesaikan dengan ilmu ushul fiqih. So, jangan merasa sok kembali ke
Al-Qur'an dan hadits, sementara dengar ilmu ushul fiqih aja baru dengar tadi.
Bagaimana? Apakah ada yang masih sok
satu derajat dengan Imam Syafi'i? Hahahhah, rupanya masih mimpi di siang bolong
!!! Wkwkwkwkw 😆😆😆
Referensi
1. Syarah Al-Ushul Min 'Ilmi
Al-Ushul, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
2. Al-Muhadzdzab fii Ushul Al-Fiqhi Al-Muqaran, Prof. Dr. Abdul Karim An-Namlah.
3. Al-Wajiz fii Ushul Al-Fiqhi, Dr. Abdul Karim Zaidan.
3. Al-Wajiz fii Ushul Al-Fiqhi, Dr. Abdul Karim Zaidan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar