v Dianjurkan Mempelajari Bahasa Arab
Pembaca yang mulia, berbicara tentang bahasa Arab, kita sama-sama tahu bahwasannya bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur-an, dia merupakan bahasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia merupakan bahasa yang dipakai oleh para ulama dan penuntut ilmu sebagai pengantar kegiatan belajar mengajar, dan anda lihat sendiri para ulama tidaklah mengarang kitab kecuali menggunakan bahasa Arab, dia adalah bahasa umat Islam. Maka sepantasnya bagi kita untuk bangga dengan bahasa Arab dan mempelajarinya, karena dengan mempelajarinya, maka kita akan mudah memahami Al-Qur’an, hadits, dan agama Islam. Allah Ta’ala berfirman, “ Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab agar kalian memahaminya.” (QS. Yusuf: 2)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari ayat tersebut: “Hal itu karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling luas ushlubnya, dan yang paling banyak makna-mana yang membuat hati bergetar. Karena itulah yang membuat Al-Qur’an turun dengan bahasa yang paling mulia ini kepada rasul yang mulia dengan perantara malaikat yang mulia (jibril) dan bahasa Arab adalah bahasa yang paling mulia di muka bumi.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 4/365)
Berkata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, “Pelajari bahasa Arab, karena dia termasuk agama kalian.”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ Ash-Shiratil Mustaqim (1/204): “Bahasa Arab merupakan syiar Islam dan pemeluknya, dia merupakan bahasa yang paling agung di antara bahasa-bahasa lain yang membedakan umat Islam dengan yang lainnya. Karena itulah kebanyakan fuqaha’, atau mayoritas fuqaha’ membenci dalam doa-doa shalat dan zikir, dia berdoa atau berdzikir kepada Allah tidak menggunakan bahasa Arab.”
Berkata Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi-I, “Kami tidak mencintai seseorang tidak mengucapkan dengan bahasa Arab, kemudian menamai sesuatu dengan bahasa ‘Ajam (non-arab), karena sesungguhnya bahasa yang Allah ‘Azza wa Jalla pilih adalah bahasa Arab, maka Dia menurunkan kitab-Nya dengannya, dan menjadikannya sebagai bahasa Nabi terakhir Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah, kami katakan: “sepatutnya bagi siapapun yang mampu untuk belajar bahasa Arab agar mempelajarinya, karena dia adalah bahasa utama yang dicintai tanpa mengharamkan siapapun untuk berbicara dengan bahasa ‘Ajam.”
Ingatlah kaidah fiqhiyyah berikut ini,
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Tidaklah sempurna suatu kewajiban kecuali sempurnanya wasilah menuju kewajiban.”
Contoh: Memahami Al-Qur’an hukumnya wajib, maka tidaklah anda memahami Al-Qur’an kecuali memahami bahasa Arab.”
Maka dari itulah, wahai saudaraku, khususnya para penuntut ilmu agama, sepatutnya kita untuk mempelajari bahasa Arab dengan sungguh-sungguh karena mempelajari bahasa Arab hukumnya wajib. Bagaimana mungkin kita dapat memahami Al-Qur’an dan hadits tanpa bisa berbahasa Arab? Apa kata akhirat? (Fawaid saya nukilkan dari https://islamqa.info/ar/90066)
v Sebelum Menelaah Kitab-kitab Besar, Dianjurkan Untuk Menguasai Matan-matan (Kitab-kitab ringkas) Dalam Berbagai Cabang Ilmu
Why? Karena kalau kita berhasil menguasai matan-matan, maka kita akan mudah memahami kitab-kitab besar yang membutuhkan kesungguhan yang besar dalam memahaminya.
Banyak matan-matan yang bisa kita pelajari, kalau anda mau, anda dapat menghafalnya. Berikut adalah matan-matan dari berbagai ilmu agama:
Dalam ilmu Aqidah:
1. Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
2. Nawaqidhul Islam.
3. Qawa’idul Arba’.
4. Kasyfu Asy-Syubhat.
5. Kitabut Tauhid, kelima matan ini karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Dalam ilmu Fiqih:
1. Safinatun Najah, karya Syaikh Salim bin Samir Al-Hadhrami.
2. Matn Al-Ghayah wat Taqrib, karya Abu Syuja’, kedua matan ini merupakan matan fiqih madzhab Syafi’I.
Dalam ilmu Hadits:
1. Arba’in An-Nawawiyah, karya Imam An-Nawawi rahimahullah, mencakup 40 hadits penting urusan agama.
2. ‘Umdatul Ahkam, karya Syaikh Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah.
Dalam ilmu Nahwu (Gramatika bahasa Arab):
1. Matan Al-Ajurrumiyah.
2. Matan Alfiyah Ibnu Malik.
Dalam ilmu Tajwid:
1. Matan Tuhfatul Athfal.
2. Matan Al-Jazariyah.
3. Matan Asy-Syathibiyah.
4. Matan Dzurrah.
v Kitab-kitab Penting Yang Harus Dimiliki Penuntut Ilmu
Berikut adalah kitab-kitab penting yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu:
Dalam Ilmu Aqidah:
1. Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid, karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan.
2. Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At-Tauhid, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
3. Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad, karya Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Al-Fauzan.
4. Al-Qawa’idul Mutsla fii Shifatillah wa Asma’Ihil Husna, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.
Dalam ilmu Fiqh dan ushulnya:
1. Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wa Kitabil ‘Aziz, karya Dr. Abdul Azhim Badawi Al-Khalafi hafizhahullah.
2. Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah.
3. Kifayatul Akhyar karya Taqiyuddin Al-Hishni rahimahullah.
4. Shifatu Shalatin Nabiy, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.
5. Al-Muwafaqat, karya Imam Asy-Syathibi rahimahullah.
6. I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah.
Dalam bidang Hadits dan ilmunya:
1. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah.
2. Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan kitab syarahnya Subulus Salam karya Imam Ash-Shan’ani.
3. Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Ibnu Hajar Al-Asqalani
4. Taisirul Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Al-Bassam.
5. Manhajun Naqdi fii ‘Ulumil Hadits
Dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir:
1. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Ibnu Katsir.
2. Tafsir Al-Jami’ Liahkamil Qur’an, karya Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi.
3. Tafsir Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi.
4. Tafsir Ma’alimut Tanzil, Imam Al-Baghawi.
5. Taisir Al-Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
6. Aisarut Tafasir, Abu Bakar Al-Jaza’iri.
7. Al-Itqan fii ‘Ulumil Qur’an, karya Jalaluddin As-Suyuthi.
Dalam bidang Adab dan Tazkiyatun Nufus:
1. Kitabul Adab, Fuad bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syulhub.
2. Miftah Dar As-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.
3. Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.
4. Al-Fawaid, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.
v Memperkuat Keikhlasan Sebelum Menelaah Kitab
Pembaca yang mulia, sesungguhnya mempelajari kitab-kitab ulama merupakan di antara jalur menuntut ilmu, maka kita harus mengikhlaskan niat kita dalam mempelajari kitab karena Allah Ta’ala karena dia merupakan amalan shalih, apa itu? Yaitu amalan menuntut ilmu. Maka dari itulah, wahai saudaraku, perhatikanlah keikhlasan anda.
Ingatlah wahai saudaraku, bahwa setiap amalan yang mendekatkan diri kepada Allah tidaklah terlealisasi di dalamnya dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka tertolak amal orang yang mengerjakannya. (Kitabul Adab, Fuad bin Abdul ‘Aziz Asy-Syulhub, hal. 10)
Berkata Imam An-Nawawi, “Maka yang diperintahkan pertama kali adalah: mengikhlaskan niat dalam membaca Al-Qur’an (bisa juga baca kitab) dan menginginkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak meniatkan sebagai wasilah menuju sesuatu selain itu.” (Al-Adzkar, hal. 90)
Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk memurnikan ibadah kita hanya untukNya, apalagi amalan kita adalah mengkaji kitab kuning, jelas hal itu merupakan amal ibadah karena mengkaji kitab merupakan di antara jalur menuntut ilmu syar’i. Allah Ta’ala telah berfirman,
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
“Tidak mereka diperintahkan kecuali mereka beribadah kepada Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Adapun dalil atas perintah mengikhlaskan niat dalam seluruh ibadah, termasuk menelaah kitab dari hadits adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, yaitu,
“Sesungguhnya amal seseorang tergantung niatnya, dan setiap orang akan dibalas tergantung apa yang diniatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya karena Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang menimpanya atau karena perempuan yang mau dinikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berhati-hatilah wahai saudaraku dari niat yang tidak benar dalam mengkaji kitab. Karena orang yang mengkaji kitab dengan niat supaya mendapat pujian dari khayalak atau supaya dikatakan alim, jago baca kitab atau lain-lain (pokoknya niatnya bukan untuk Allah), maka orang inilah yang dijebloskan ke neraka duluan sebelum orang kafir, musyrik, munafik dan pelaku dosa lainnya yang harus dijebloskan ke neraka. Hii…. Ngeri bukan? Na’udzubillahi min dzalik. Disebutkan di dalam shahih Muslim, riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya manusia yang pertama kali disidang di hari kiamat yaitu ………seseorang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an. Maka didatangkan kepadanya nikmat-nikmat (yang Allah kasih kepadanya), maka dia mengenalnya, kemudian Allah berkata: “Apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmatku? Dia berkata: “Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya dan aku membaca Al Qur’an karenaMu” Allah berkata: “Kamu berbohong!!! Akan tetapi kamu belajar supaya dikatakan alim (orang yang berilmu) dan kamu membaca Al Qur’an supaya dikatakan Qari’…………………… kemudian diperintahkan untuk diseret wajahnya sampai dia dijebloskan ke neraka.” (HR. Muslim)
Ngerih kah setelah membaca hadits di atas? Ada yang mau niat untuk dipuji-puji? So, Supaya rasa takut anda bertambah, penulis kasih tahu kepada anda bahwasannya riya’ merupakan factor tertolaknya amalan, why? Karena seseorang ketika beramal, amalannya ditujukan kepada Allah bukan selainNya, jika amalannya ditujukan kepada selain Allah maka itu merupakan kesyirikan, sementara kesyirikan merupakan kezhaliman paling besar berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إن الشرك لظلم عظيم
“Sesungguhnya kesyirikan merupakan kezhaliman paling besar.”
Terus juga, orang yang berbuat syirik dihalangi dirinya dari melihat wajah Allah yang Maha Sempurna. Allah Ta’ala berfirman,
من يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا
“Barangsiapa yang berharap perjumpaan kepada Rabbnya maka beramalah shalih dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.”
So, wajib bagi kita untuk memperbaiki niat kita ikhlas untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, apalagi dalam mengkaji kitab, betul-betul ditekankan keikhlasan dalam hal tersebut, supaya amalan kita itu atau semua amalan kita bernilai dan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
v Berusaha memahami ilmu di dalam kitab yang dikaji
Pembaca yang budiman, sepatutnya bagi kita untuk memahami apa yang kita kaji di dalam kitab karena memahaminya merupakan jalan menuju pemahaman. Maka dari itulah, jika kita ingin memahaminya, maka kita harus bersungguh-sungguh dalam mengkajinya. Ingat wahai saudara, ilmu tidak dapat diraih dengan tubuh yang dimanjakan (santai). Yahya bin Katsir rahimahullah berkata,
لايستطاع العلم براحة الجسم
“Ilmu tidak diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (dengan santai).” (Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abdil Barr. Dinukil dari Adab Akhlak Penuntut Ilmu, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal 22)
Terus, bagaimana caranya kita dapat memahami kitab?
1. Meminta kepada Allah Ta’ala pemahaman terhadap ilmu.
Bisa juga anda menggunakan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagi Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu yang mana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam shahih-nya dengan lafazh,
اللهم فَقهْنِيْ في الدين
“Ya Allah, berikanlah kepadaku pemahaman terhadap agama.”
Aslinya, dalam lafazh tertera faqqih-hu (berikanlah pemahaman terhadapnya), tetapi diganti dhomir maf’ulnya menjadi faqqih-ni yang berarti “berikanlah kepadaku pemahaman.”
2. Membaca dengan penuh tadabbur.
3. Bertanya kepada ustadz atau teman yang ahli jika ada pembahasan yang tidak dapat kita pahami.