Minggu, 31 Desember 2017

Adab Membaca Kitab (Episode 1)



Berbicara tentang thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu), maka sang santri wajib tidak dapat lepas dari marja’ (referensi/rujukan) yaitu kitab/buku yang membahas kajian ilmu yang dipelajari, why? Karena tanpa kitab, santri akan kesulitan dalam mendalami ilmu dan hanya mengandalkan sima’I (mendengar) dari ustadz/kiai/tuan guru. Itupun kalau kepintarannya selevel imam Bukhari yang mampu menghafal ribuan hadits hanya mengandalkan sima’I dari gurunya. Oleh karena itu, tidaklah lengkap rasanya kita ini belajar tanpa pendamping, apa itu? Yaitu kitab.


Berbicara tentang kitab, penulis mau mengajak anda menyelami sejarah pembuatan kitab. Ayo kita seluncur ke lubang sejarah!

KITAB KUNING, WARISAN KEBANGGAAN PENUNTUT ILMU DAN UMAT ISLAM

Berbicara tentang kitab kuning, bagi kalangan santri, kitab kuning sudah tidak asing bagi mereka, karena wajib di pesantren dikaji kitab-kitab kuning. Terus, apa sih kitab kuning itu? Kitab yang warnanya kuning gitu.

Pembaca yang mulia, dahulu para ulama telah mencurahkan perhatian mereka kepada ilmu agama dengan luar biasa. Kita tentu tidak asing lagi dengan perjuangan empat imam madzhab (Imam Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, dan Abu Hanifah) dalam berijtihad terhadap suatu permasalahan agama. Kita juga tidak asing dengan perjuangan para ulama dalam perlawanan mereka terhadap ahlul bid’ah dan ahlul kalam seperti perjuangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menumpas kesesatan kelompok-kelompok sesat. Banyak cara dilakukan oleh para ulama kita dalam mencurahkan perhatian mereka terhadap ilmu dan perlawanan mereka terhadap ahlul bathil dan bid’ah seperti dengan mengadakan majelis bahtsul masail (membahas permasalahan agama), menyeru manusia menuju jalan kebenaran, bahkan para ulama kita juga mencurahkan perhatian mereka dengan mengarang karya tulis ilmiah lagi agamis dengan pena-pena mereka sampai ribuan lembar dari berbagai ilmu-ilmu keagamaan hingga bertebarlah karya tulis mereka ke segala penjuru sekalipun mereka telah meninggalkan dunia ini. Bahkan kitab-kitab mereka sebagian besar telah dijadikan sebagai mu’tamad/marja’ (referensi) dalam pengkajian ilmu-ilmu keagamaan seperti contoh kitab-kitab hadits yang dikarang para ulama hadits yang mana berjuluk kutubuttis’ah yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi,Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Musnad Imam Ahmad, Muwatha’ Imam Malik, dan Sunan Ad-Darimi, dalam ilmu fikih dan ushulnya yaitu kitab Al-Umm karya Imam Syafi’I, kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm, kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab dan Raudhatut Thalibin  karya Imam Nawawi, kitab Nailul Authar karya Imam Asy-Syaukani, kitab Fiqhus Sunnah karya monumental Sayyid Sabiq, dan lain-lain. Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, yaitu kitab Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tafsir  Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baghawi, dan Tafsir Mafatihul Ghaib. Dalam syarh (tafsir) kitab hadits seperti kitab Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu Hajar, Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi, kitab Jami’ul Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali, dan masih banyak kitab-kitab mu’tamad lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.

Karena itulah, kita sebagai umat Islam khususnya dari kalangan penuntut ilmu agama harus bangga dengan warisan ulama yang berharga ini yang mana Allah telah menjaga warisan para ulama ini sejak ribuan tahun lalu dan tidak ada warisan yang lebih berharga daripada warisan para ulama dan ilmu para ulama merupakan warisan para Nabi.

bagaimana adab membaca kitab? berikut ini adalah adab-adabnya di episode berikutnya. selamat membaca !!!

Adab Membaca Kitab (Episode 2)




v  Dianjurkan Mempelajari Bahasa Arab

Pembaca yang mulia, berbicara tentang bahasa Arab, kita sama-sama tahu bahwasannya bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur-an, dia merupakan bahasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia merupakan bahasa yang dipakai oleh para ulama dan penuntut ilmu sebagai pengantar kegiatan belajar mengajar, dan anda lihat sendiri para ulama tidaklah mengarang kitab kecuali menggunakan bahasa Arab, dia adalah bahasa umat Islam. Maka sepantasnya bagi kita untuk bangga dengan bahasa Arab dan mempelajarinya, karena dengan mempelajarinya, maka kita akan mudah memahami Al-Qur’an, hadits, dan agama Islam. Allah Ta’ala berfirman, “ Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab agar kalian memahaminya.” (QS. Yusuf: 2)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari ayat tersebut: “Hal itu karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling luas ushlubnya, dan yang paling banyak makna-mana yang membuat hati bergetar. Karena itulah yang membuat Al-Qur’an turun dengan bahasa yang paling mulia ini kepada rasul yang mulia dengan perantara malaikat yang mulia (jibril) dan bahasa Arab adalah bahasa yang paling mulia di muka bumi.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 4/365)

Berkata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, “Pelajari bahasa Arab, karena dia termasuk agama kalian.”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ Ash-Shiratil Mustaqim (1/204): “Bahasa Arab merupakan syiar Islam dan pemeluknya, dia merupakan bahasa yang paling agung di antara bahasa-bahasa lain yang membedakan umat Islam dengan yang lainnya. Karena itulah kebanyakan fuqaha’, atau mayoritas fuqaha’ membenci dalam doa-doa shalat dan zikir, dia berdoa atau berdzikir kepada Allah tidak menggunakan bahasa Arab.”

Berkata Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi-I, “Kami tidak mencintai seseorang tidak mengucapkan dengan bahasa Arab, kemudian menamai sesuatu dengan bahasa ‘Ajam (non-arab), karena sesungguhnya bahasa yang Allah ‘Azza wa Jalla pilih adalah bahasa Arab, maka Dia menurunkan kitab-Nya dengannya, dan menjadikannya sebagai bahasa Nabi terakhir Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah, kami katakan: “sepatutnya bagi siapapun yang mampu untuk belajar bahasa Arab agar mempelajarinya, karena dia adalah bahasa utama yang dicintai tanpa mengharamkan siapapun untuk berbicara dengan bahasa ‘Ajam.”

Ingatlah kaidah fiqhiyyah berikut ini,
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Tidaklah sempurna suatu kewajiban kecuali sempurnanya wasilah menuju kewajiban.”

Contoh: Memahami Al-Qur’an hukumnya wajib, maka tidaklah anda memahami Al-Qur’an kecuali memahami bahasa Arab.”

Maka dari itulah, wahai saudaraku, khususnya para penuntut ilmu agama, sepatutnya kita untuk mempelajari bahasa Arab dengan sungguh-sungguh karena mempelajari bahasa Arab hukumnya wajib. Bagaimana mungkin kita dapat memahami Al-Qur’an dan hadits tanpa bisa berbahasa Arab? Apa kata akhirat? (Fawaid saya nukilkan dari https://islamqa.info/ar/90066)

v  Sebelum Menelaah Kitab-kitab Besar, Dianjurkan Untuk Menguasai Matan-matan (Kitab-kitab ringkas) Dalam Berbagai Cabang Ilmu

Why? Karena kalau kita berhasil menguasai matan-matan, maka kita akan mudah memahami kitab-kitab besar yang membutuhkan kesungguhan yang besar dalam memahaminya.

Banyak matan-matan yang bisa kita pelajari, kalau anda mau, anda dapat menghafalnya. Berikut adalah matan-matan dari berbagai ilmu agama:

Dalam ilmu Aqidah:
1.    Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
2.    Nawaqidhul Islam.
3.    Qawa’idul Arba’.
4.    Kasyfu Asy-Syubhat.
5.    Kitabut Tauhid, kelima matan ini karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Dalam ilmu Fiqih:
1.  Safinatun Najah, karya Syaikh Salim bin Samir Al-Hadhrami.
2.    Matn Al-Ghayah wat Taqrib, karya Abu Syuja’, kedua matan ini merupakan matan fiqih madzhab Syafi’I.

Dalam ilmu Hadits:
1.    Arba’in An-Nawawiyah, karya Imam An-Nawawi rahimahullah, mencakup 40 hadits penting urusan agama.
2.    ‘Umdatul Ahkam, karya Syaikh Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah.

Dalam ilmu Nahwu (Gramatika bahasa Arab):
1.      Matan Al-Ajurrumiyah.
2.      Matan Alfiyah Ibnu Malik.

Dalam ilmu Tajwid:
1.    Matan Tuhfatul Athfal.
2.    Matan Al-Jazariyah.
3.    Matan Asy-Syathibiyah.
4.    Matan Dzurrah.

v  Kitab-kitab Penting Yang Harus Dimiliki Penuntut Ilmu

Berikut adalah kitab-kitab penting yang harus dimiliki  oleh penuntut ilmu:

Dalam Ilmu Aqidah:
1.    Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid, karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan.
2.    Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At-Tauhid, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
3.    Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad, karya Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Al-Fauzan.
4.    Al-Qawa’idul Mutsla fii Shifatillah wa Asma’Ihil Husna, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.

Dalam ilmu Fiqh dan ushulnya:
1.    Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wa Kitabil ‘Aziz, karya Dr. Abdul Azhim Badawi Al-Khalafi hafizhahullah.
2.    Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah.
3.    Kifayatul Akhyar karya Taqiyuddin Al-Hishni rahimahullah.
4.    Shifatu Shalatin Nabiy, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.
5.    Al-Muwafaqat, karya Imam Asy-Syathibi rahimahullah.
6.    I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah.

Dalam bidang Hadits dan ilmunya:
1.    Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah.
2.    Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan kitab syarahnya Subulus Salam karya Imam Ash-Shan’ani.
3.    Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Ibnu Hajar Al-Asqalani
4.    Taisirul Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Al-Bassam.
5.    Manhajun Naqdi fii ‘Ulumil Hadits

Dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir:
1.    Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Ibnu Katsir.
2.    Tafsir Al-Jami’ Liahkamil Qur’an, karya Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi.
3.    Tafsir Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi.
4.    Tafsir Ma’alimut Tanzil, Imam Al-Baghawi.
5.    Taisir Al-Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
6.    Aisarut Tafasir, Abu Bakar Al-Jaza’iri.
7.    Al-Itqan fii ‘Ulumil Qur’an, karya Jalaluddin As-Suyuthi.

Dalam bidang Adab dan Tazkiyatun Nufus:
1.    Kitabul Adab, Fuad bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syulhub.
2.    Miftah Dar As-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.
3.    Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.
4.    Al-Fawaid, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.

v  Memperkuat Keikhlasan Sebelum Menelaah Kitab

Pembaca yang mulia, sesungguhnya mempelajari kitab-kitab ulama merupakan di antara jalur menuntut ilmu, maka kita harus mengikhlaskan niat kita dalam mempelajari kitab karena Allah Ta’ala karena dia merupakan amalan shalih, apa itu? Yaitu amalan menuntut ilmu. Maka dari itulah, wahai saudaraku, perhatikanlah keikhlasan anda.

Ingatlah wahai saudaraku, bahwa setiap amalan yang mendekatkan diri kepada Allah tidaklah terlealisasi di dalamnya dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka tertolak amal orang yang mengerjakannya. (Kitabul Adab, Fuad bin Abdul ‘Aziz Asy-Syulhub, hal. 10)

Berkata Imam An-Nawawi, “Maka yang diperintahkan pertama kali adalah: mengikhlaskan niat dalam membaca Al-Qur’an (bisa juga baca kitab) dan menginginkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak meniatkan sebagai wasilah menuju sesuatu selain itu.” (Al-Adzkar, hal. 90)

Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk memurnikan ibadah kita hanya untukNya, apalagi amalan kita adalah mengkaji kitab kuning, jelas hal itu merupakan amal ibadah karena mengkaji kitab merupakan di antara jalur menuntut ilmu syar’i. Allah Ta’ala telah berfirman,

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين

“Tidak mereka diperintahkan kecuali mereka beribadah kepada Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Adapun dalil atas perintah mengikhlaskan niat dalam seluruh ibadah, termasuk menelaah kitab dari hadits adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, yaitu,

“Sesungguhnya amal seseorang tergantung niatnya, dan setiap orang akan dibalas tergantung apa yang diniatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya karena Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang menimpanya atau karena perempuan yang mau dinikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berhati-hatilah wahai saudaraku dari niat yang tidak benar dalam mengkaji kitab. Karena orang yang mengkaji kitab dengan niat supaya mendapat pujian dari khayalak atau supaya dikatakan alim, jago baca kitab atau lain-lain (pokoknya niatnya bukan untuk Allah), maka orang inilah yang dijebloskan ke neraka duluan sebelum orang kafir, musyrik, munafik dan pelaku dosa lainnya yang harus dijebloskan ke neraka. Hii…. Ngeri bukan? Na’udzubillahi min dzalik. Disebutkan di dalam shahih Muslim, riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya manusia yang pertama kali disidang di hari kiamat yaitu ………seseorang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an. Maka didatangkan kepadanya nikmat-nikmat (yang Allah kasih kepadanya), maka dia mengenalnya, kemudian Allah berkata: “Apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmatku? Dia berkata: “Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya dan aku membaca Al Qur’an karenaMu” Allah berkata: “Kamu berbohong!!! Akan tetapi kamu belajar supaya dikatakan alim (orang yang berilmu) dan kamu membaca Al Qur’an supaya dikatakan Qari’…………………… kemudian diperintahkan untuk diseret wajahnya sampai dia dijebloskan ke neraka.” (HR. Muslim)
Ngerih kah setelah membaca hadits di atas? Ada yang mau niat untuk dipuji-puji? So, Supaya rasa takut anda bertambah, penulis kasih tahu kepada anda bahwasannya riya’ merupakan factor tertolaknya amalan, why? Karena seseorang ketika beramal, amalannya ditujukan kepada Allah bukan selainNya, jika amalannya ditujukan kepada selain Allah maka itu merupakan kesyirikan, sementara kesyirikan merupakan kezhaliman paling besar berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إن الشرك لظلم عظيم

“Sesungguhnya kesyirikan merupakan kezhaliman paling besar.”

Terus juga, orang yang berbuat syirik dihalangi dirinya dari melihat wajah Allah yang Maha Sempurna. Allah Ta’ala berfirman,

من يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا

“Barangsiapa yang berharap perjumpaan kepada Rabbnya maka beramalah shalih dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.”

So, wajib bagi kita untuk memperbaiki niat kita ikhlas untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, apalagi dalam mengkaji kitab, betul-betul ditekankan keikhlasan dalam hal tersebut, supaya amalan kita itu atau semua amalan kita bernilai dan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

v  Berusaha memahami ilmu di dalam kitab yang dikaji

Pembaca yang budiman, sepatutnya bagi kita untuk memahami apa yang kita kaji di dalam kitab karena memahaminya merupakan jalan menuju pemahaman. Maka dari itulah, jika kita ingin memahaminya, maka kita harus bersungguh-sungguh dalam mengkajinya. Ingat wahai saudara, ilmu tidak dapat diraih dengan tubuh yang dimanjakan (santai). Yahya bin Katsir rahimahullah berkata,

  لايستطاع العلم براحة الجسم

“Ilmu tidak diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (dengan santai).” (Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abdil Barr. Dinukil dari Adab Akhlak Penuntut Ilmu, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal 22)

Terus, bagaimana caranya kita dapat memahami kitab?

1.    Meminta kepada Allah Ta’ala pemahaman terhadap ilmu.
Bisa juga anda menggunakan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bagi Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu yang mana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam shahih-nya dengan lafazh,

اللهم فَقهْنِيْ في الدين

“Ya Allah, berikanlah kepadaku pemahaman terhadap agama.”

Aslinya, dalam lafazh tertera faqqih-hu (berikanlah pemahaman terhadapnya), tetapi diganti dhomir maf’ulnya menjadi faqqih-ni yang berarti “berikanlah kepadaku pemahaman.

2.    Membaca dengan penuh tadabbur.

3.    Bertanya kepada ustadz atau teman yang ahli jika ada pembahasan yang tidak dapat kita pahami.

Adab Membaca Kitab (Episode 3)




v Mencatat Faedah-faedah Yang Didapat Sehabis Mengkaji Kitab

Dianjurkan bagi penuntut ilmu sehabis mengkaji kitab baik mengkaji bersama guru maupun mempelajari sendiri supaya mencatat poin-poin penting, fawaid (faedah dan manfaat) dari ayat, hadits, dan perkataan para sahabat dan ulama, atau berbagai dalil bagi suatu permasalahan yang disampaikan dalam kitab yang dikaji. Tujuannya agar ilmu yang didapat sehabis kajian kitab tidak hilang dan terus tertancap di dalam ingatannya setiap kali ia mengulangi pelajarannya. Karena daya tangkap dan kemampuan menghafal dan memahami pelajaran berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Selain itu, dengan mencatat pelajaran, ia dapat memahami dan menghafalkannya.

Adanya catatan atau alat tulis serta buku tulis merupakan bekal seorang penuntut ilmu untuk memperoleh ilmu sebagaimana hal itu telah diisyaratkan oleh Imam Syafii rahimahullah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قيدوا العلم بالكتاب

“Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (HR. Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, ikatlah ilmu dengan tulisan.” (Riwayat Ibnu Abdil Barr, 1/316)

Khalid bin Khidasy Al-Baghdadi berkata, “Aku hendak berpisah dengan Malik bin Anas rahimahullah, lalu kukatakan, “Wahai Abu Abdillah, berikanlah wasiat kepadaku,” beliau menjawab, “Hendaknya engkau bertaqwa kepada Allah dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan, menasehati setiap muslim, dan mencatat ilmu dari ahlinya.” (Ibid, 1/244/255)

(Dinukil dari buku Adab & Akhlak Penuntut Ilmu, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 40-41 dengan perubahan seperlunya)

Imam Sya’bi rahimahullah berkata, “Apabila engkau mendengar suatu faedah, maka tulislah sekalipun di tembok.” (Riwayat Ibnu Abi Khutsaimah dalam Kitabul ‘Ilmi hal. 58, dinukil dari buku Mendulang Faedah Dari Lautan Ilmu, Abu Ubaidah As-Sidawi, hal. 11)

Berkata Imam An-Nawawi rahimahullah, “Janganlah meremehkan faedah yang dilihat atau didengar di semua cabang ilmu bahkan segera mengalihkan ke tulisan kemudian ulangi dengan penuh muthala’ah (perhatian) apa yang telah ditulis.” (Al-Majmu’, 1/70)

Imam Syafi’I rahimahullah bertutur:

Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang
Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja

v  Mengamalkan Ilmu Yang Telah Dikaji di Kitab

Hal ini sangat penting, why? Karena ilmu yang kita kaji di kitab bukan sekedar teori, melainkan untuk diamalkan. Apalagi di kitab tersebut disampaikan di dalam ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita sebagai penuntut ilmu adalah mengamalkannya. Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, “Mengamalkan ilmu maksudnya adalah mengamalkan apa yang meliputi pengetahuan dari keimanan kepada Allah, melaksanakan ketaatan kepadaNya, melaksanakan perintahNya, menjauhi laranganNya dari ibadah-ibadah yang khusus maupun ibadah muta’addiah. Maka ibadah khusus seperti shalat, puasa, haji, sedangkan ibadah muta’addiah seperti amar ma’ruf nahi munkar, berjihad di jalan Allah, dan yang semisal dengan itu.”

Kemudian syaikh melanjutkan, “Dan mengamalkan ilmu hakikatnya merupakan buah dari ilmu. Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka dia menyerupai orang nashrani, dan barangsiapa yang berilmu dan tidak mengamalkannya, maka dia termasuk orang Yahudi.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 6)

v  TRADISI MEMBELI KITAB
Sudah lumrah di kalangan santri untuk memiliki kitab sebagai pendamping hidupnya dalam menempuh jalan thalabul ‘ilmi, baik itu berupa kitab muqarrar (kurikulum) pesantren atau kitab-kitab maraji’ (referensi/bacaan). Karena itulah, untuk mendapatkan kitab, tentu kita harus merogoh gocek dalam bukan demi dapat warisan ulama kita?

Memang tradisi membeli kitab sudah lumrah di kalangan penuntut ilmu, bahkan ulama sekalipun masih membutuhkan kitab-kitab sebagai maraji’ mereka. Oleh karena itu, dalam rangka membantu anda dalam syiro’ul kutub (membeli kitab), saya akan menyajikan kepada anda panduan membeli kitab dalam rangka supaya anda dapat membeli kitab dengan cara yang baik dan benar-benar puas dengan kitab yang anda nikmati.

1.    Panduan Pertama: Konsultasikan Kepada Ustadz/Kiai Tentang Kitab Yang Akan Dibeli
Jadi, sebelum anda membeli kitab, anda terlebih dahulu berkonsultasi dengan ustadz mengenai kitab yang anda beli, Why? Karena bisa jadi kitab yang anda beli belum tentu sesuai dengan marhalah (level) anda saat ini, sementara tidak semua jenis kitab bisa kita miliki tergantung marhalah kita. Perlu diketahui, bahwa dalam menuntut ilmu agama, ada marhalah-marhalah yang harus kita lewati, yaitu dua marhalah dasar dan dua marhalah lanjutan. Kitab-kitab pada masing-masing marhalah juga berbeda-beda loe. Jadi hal itu harus kita perhatikan agar kita mudah dalam memahami kitab yang kita baca sesuai dengan level kita.

2.    Panduan Kedua: Beli Kitab Yang telah Di-tahqiq (Diteliti) dan Di-takhrij (Diteliti Hadits-Hadits)

Dianjurkan bahkan ditekankan bagi anda yang membeli kitab, setelah bertanya kepada ustadz, agar membeli kitab yang telah ditahqiq dan ditakhrij, terutama kitab yang dibeli adalah kitab salaf/turats, maka sangat ditekankan untuk membeli kitab yang telah melewati tahap tahqiq & takhrij, why? Karena barangkali di kitab turats, ditemukan pembahasan di suatu bab kemudian diulang di pembahasan lain. Maka inikan bertele-tele (wajarlah namanya kitab-kitab tidak ada sempurna kecuali Al-Qur’an Al-Karim), atau ternyata dicantumkan di dalamnya hadits dhaif (lemah) atau maudhu’ (palsu). Maka dari itulah anda harus membeli kitab turats muhaqqaq (ditahqiq).

Alhamdulillah, telah banyak kitab-kitab turats yang telah ditahqiq oleh para ulama ternama dan para penuntut ilmu. maka tidak ada salahnya, bahkan, ditekankan bagi kita untuk membeli kitab yang telah ditahqiq/diteliti.

3.    Panduan Ketiga: Dianjurkan bagi Penuntut Ilmu Pemula Untuk Memiliki Kitab-kitab yang di-tahdzib/talkhis (diringkas)

Alhamdulillah, telah banyak kitab-kitab besar bahkan berjilid-jilid yang diringkas oleh para ulama sehingga sangat pas bagi anda yang masih pemula barangkali dalam menuntut ilmu agama dan manfaat dari membaca kitab yang ditalkhis adalah anda dapat memahami faedah-faedah yang disampaikan oleh penulis dengan mudah dan cepat. Mau anda memilikinya?

4.    Panduan Keempat: Cek Isi Kitab Yang Mau Dibeli Sebelum Membeli
Bisa jadi ada halaman yang kosong, atau yang kelompat atau hilang dan lain-lain. Jangan sampai nyampai di rumah, terus anda buka kitab baru anda terus ternyata anda dapati kecacatan di dalamnya. Astaghfirullah!!! Langsung anda kaget, tapi nasi sudah jadi bubur. Naudzubillahi min dzalik.

POTRET ULAMA DALAM MEMBACA DAN MENULIS KITAB

Imam Al-Muzani rahimahullah membaca kitab Ar-Risalah karya Imam Asy-Syafi’I rahimahullah sebanyak 50 kali. (Lihat Muqaddimah Ar-Risalah, hal. 4)

Abdullah bin Muhammad membaca kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah rahimahullah sebanyak 23 kali. (Dzail Thabaqat Al-Hanabilah, 2/411)

Ibnul Jahm apabila ia mengantuk pada selain waktu tidur, maka ia mengusir ngantuknya dengan membaca kitab-kitab hikmah hingga kantuknya hilang. (Al-Hayawan, 1/53, Al-Jahizh)

Ibnu Tabban membaca kitab sepanjang malam. Hingga ibunya pernah melarang dan menyuruhnya tidur, maka ia menyembunyikan sebuah lampu, apabila ibunya tidur, ia menyalakan lampu dan meneruskan untuk membaca. (Tartibul Madarik, Al-Qadhi ‘Iyadh, 1/78)

Muhammad bin Ahmad bin Qudamah rahimahullah menulis dengan tangannya beberapa kitab yang banyak sekali. Di antaranya tafsir Al-Baghawi, Al-Mughni, Hilyah Abu Nu’aim, Al-Ibanah Ibnu Baththah, dan Al-Khiraqi, serta mushaf dengan jumlah yang banyak. (Dzail Thabaqat Al-Hanabilah, 2/53)

Imam Ismail Al-Jurjani rahimahullah menulis setiap malam 90 lembar kertas dengan tulisan yang bagus dan hati-hati. (Siyar A’lam An-Nubala’, 13/54)

(Dinukil dari buku Mendulang Faedah Dari Lautan Ilmu, hal. 175)

Wallahu a’lam bis-shawab.



Ditulis oleh Al-Faqir Ila Rabbihil A'laa

Abu Ubaydillah Muhdarul Islamy bin Syamsi Az-Zarnuji

Jumat, 29 Desember 2017

Mau Tahu Cara Menangani Masalah Kelupaan Dalam Shalat?

Manusia sebagaimana yang telah Allah fithrahkan kepada mereka merupakan makhluk yang bersalah, pasti selalu berbuat dosa, dan selalu lupa. Tidak mungkin ada manusia yang suci dari sifat lupa dan salah. Bahkan, dalam ibadahpun, kita masih memiliki sifat lupa dan salah.

Salah satu masalah lupa yang terjadi dalam perkara ibadah adalah masalah lupa mengerjakan hal-hal yang disyariatkan dalam shalat. Terkadang ada manusia yang lupa mengerjakan duduk di antara dua sujud atau ada yang lupa mengerjakan salah satu rukun shalat, ada yang lupa di rakaat ke berapa, bahkan ada yang lupa takbiratul ihram saking ingin bersegera mengerjakan perintah Allah ini !!! bagaimanakah solusi syariat Islam terhadap problematika ini?

Pada artikel ini, penulis ingin menyampaikan solusi yang diberikan oleh syariat Islam kepada umat ini mengenai masalah ini. Sebagaimana kita ketahui, bahwasannya Islam merupakan agama yang sempurna, tidaklah ada suatu masalah melainkan Islam telah memberikan solusi atas masalah tersebut. Terus, apa sih solusi yang dikasih oleh Islam kepada umat atas masalah ini?

Yap, Sujud sahwi !!!

Apa itu sujud sahwi?

Sujud sahwi adalah sujud yang dilaksanakan sebagai bentuk ganti dari kelupaan akan mengerjakan rukun-rukun atau wajib-wajib shalat dan dilakukan setelah atau sebelum salam.

Seluruh madzhab, baik madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Zhahiriyyah telah sepakat atas disyariatkannya sujud sahwi apabila seseorang lupa mengerjakan rukun atau wajib atau kelebihan dan kekurangan rakaat berdasarkan hadits-hadits yang menjelaskan hal ini.

Di antara hadits yang menjadi dalil akan disyariatkan sujud sahwi adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat zhuhur atau ashar, beliau salam di rakaat kedua kemudian beranjak bersandar di salah satu bagian kiblat masjid sementara para jamaah telah keluar, maka salah satu shahabat yang dijuluki dzul yadain (pemilik dua tangan), berdiri kemudian berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, apakah engkau mengqashar shalat atau engkau lupa mengerjakan rakaat berikutnya? Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat ke kanan dan ke kiri dan bertanya: “Apakah benar apa yang diucapkan Dzul Yadain? Mereka mengatakan benar: “Dia benar, anda tidaklah shalat tadi melainkan hanya dua rakaat. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan shalatnya dua rakaat kemudian salam kemudian bertakbir dan sujud kemudian bertakbir dan bangkit. (HR. Al-Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)

Dan masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang kaifiyat sujud sahwi yang mana pembaca dapat merujuk ke Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah.

Apa hukum sujud sahwi?

Madzhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa sujud sahwi hukumnya mustahab (dianjurkan), adapun madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa sujud sahwi hukumnya wajib. Pendapat terakhir ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ini yang rajih. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di kitab Majmu’ Al-Fatawa (26/23) : “Adapun kewajiban sujud sahwi, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk mengerjakannya berdasarkan hadits Abu Hurairah yang tercantum tentang posisi ragu-ragu, maka beliau bersabda: “



إذا قام أحدكم يصلي, جاءه الشيطان, فلبس عليه صلاته حتى لا يدري كم صلى, فإذا وإذا وجد أحدكم ذلك فليسجد سجدتين وهو جالس

“Apabila salah satu di antara kalian mendirikan shalat, kemudian datang syaithan mengganggu shalatnya sampai dia tidak tahu berapa rakaat dia shalat barusan. Apabila salah satu di antara kalian yang menemukan kejadian seperti itu, maka sujudlah dua kali dan dia dalam posisi duduk.”

Dan Syaikh menjelaskan empat hadits lain, kemudian berkata: “Maka lima hadits ini adalah hadits yang shahih. Seluruh hadits ini memerintahkan orang yang lupa dalam shalatnya untuk sujud dua kali…………dan ini mencakup kontinyunya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mengerjakan sujud sahwi dan menekankan hal ini dan beliau sedikitpun tidak pernah meninggalkan sujud sahwi ketika lupa yang mengharuskannya mengerjakan sujud tersebut dan dalil-dalil ini menjelaskan secara terang akan kewajiban mengerjakannya dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu dari kalangan madzhab Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah……” [1]

Apa sebab-sebab mengharuskan seseorang sujud sahwi dan bagaimana tata caranya?

Sebab pertama, karena kekurangan.

Apabila terjadi kekurangan dalam shalat seseorang karena lupa atau lalai, maka kekurangan tidak terlepas dari hal-hal berikut ini : yaitu kekurangan dalam rukun, atau wajib dalam shalat, atau hal yang dianjurkan dalam shalat.

Bagaimana solusi atas hal ini?

Solusi pertama, jika dia lupa mengerjakan rukun shalat.


Contoh : seseorang yang sedang shalat zhuhur lupa mengerjakan salah satu rukun shalat yaitu duduk di antara dua sujud di rakaat kedua, jika dia ingat bahwa dia belum duduk di antara dua sujud sebelum membaca Al-Fatihah di rakaat ketiga maka dia harus balik ke duduk di antara dua sujud yang lupa kemudian melanjutkan gerakan dan bacaan shalat berikutnya setelah duduk di antara dua sujud dan sujud sahwi sebelum atau setelah salam. Jika dia ingat bahwa dia lupa duduk di antara dua sujud ketika dia membaca Al-Fatihah di rakaat ketiga, maka dia batalkan rakaat sebelumnya yang mana di rakaat tersebut, dia lupa duduk di natara dua sujud, yaitu rakaat kedua kemudian menjadikan rakaatnya sekarang rakaat kedua dan sujud sahwi sebelum atau setelah salam. Cara ini juga berlaku jika dia lupa rukun shalat yang lain.

Solusi kedua, jika dia lupa mengerjakan wajib shalat.

Contoh : seseorang yang sedang shalat lupa membaca doa di antara dua sujud di rakaat pertama dan ini hukumnya wajib. Jika dia ingat bahwa dia belum membaca doa di antara dua sujud sebelum berpisah dengan posisi dia membaca doa duduk di antara dua sujud yaitu duduk di antara dua sujud atau sebelum sampai rukun selanjutnya yaitu sujud, maka dia wajib balik ke duduk di antara dua sujud dan membaca doa sujud kemudian melanjutkan setelah itu sampai salam. Jika dia ingat bahwa dia belum membaca doa di antara dua sujud setelah berpisah dari posisi doa duduk di antara sujud atau sudah berada rukun berikutnya, maka dia lanjutkan shalatnya kemudian dia sujud sahwi sebelum salam atau setelah salam.

Solusi ketiga, jika dia lupa mengerjakan hal yang dianjurkan dalam shalat.

Contoh : dia lupa membaca basmalah sebelum membaca surat, maka dia lanjutkan shalatnya dan dianjurkan bagi dia untuk sujud sahwi sebelum atau setelah salam. Ingat!!! Ini hukumnya sunnah, jadi tidak masalah tidak dikerjakan sujud sahwi.

Solusi keempat, jika dia lupa jumlah jumlah rakaat, contoh : seseorang yang sudah shalat Zhuhur menyadari bahwa dia barusan shalat tiga rakaat, maka dia harus menambah satu rakaat lagi sehingga menjadi empat rakaat dan sujud sahwi sebelum atau sesudah salam sebagaimana dalam hadits Dzul Yadain di atas.

Sebab kedua, karena kelebihan.

Contoh : apabila seseorang shalat zhuhur dan ternyata dia ingat bahwa dia di rakaat kelima dan dia tidak menyadari hal itu sebelumnya (bisa dikatakan lupa), maka dia harus langsung duduk tasyahud akhir kemudian sujud sahwi sebelum atau sesudah salam. Jika dia menyadari bahwa dia shalat dzuhur lima rakaat setelah salam, dan dia tidak menyadari hal itu sebelumnya, maka dia harus turun sujud sahwi.
Sebab ketiga, karena ragu-ragu


Contoh: Apabila seseorang dalam shalatnya merasa ragu-ragu apakah di rakaat ketiga atau di rakaat kedua umpamanya, maka dia harus berusaha berpikir, jika setelah berpikir, dia yakin berada di rakaat kedua, maka lanjutkan shalatnya dan sujud sahwi sebelum atau sesudah salam. Jika setelah, berpikir, dia belum menemukan mana yang benar, maka dia mengambil rakaat yang paling terkecil yaitu rakaat kedua kemudian melanjutkan shalatnya dan sujud sahwi sebelum atau sesudah shalat.

Ini berdasarkan hadits Abu Said dan hadits Abdurrahman bin Auf : “Bahwasannya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apabila salah satu di antara kalian lupa dalam shalatnya sementara dia bimbang apakah dia di rakaat kesatu atau di rakaat kedua, maka dia bangun atas rakaat kesatu, jika dia bimbang antara rakaat kedua atau rakaat ketiga, maka dia membangun di atas rakaat kedua, jika dia bimbang antara rakaat ketiga atau rakaat keempat, maka dia memilih rakaat ketiga dan sujud dua kali sebelum salam”. [2] [3]

Dimana posisi disyariatkan sujud sahwi?

Terjadi ikhtilaf di antara para ulama tentang dimana seseorang melakukan sujud sahwi, apakah sebelum atau sesudah salam berdasarkan hadits-hadits yang menjelaskan tentang pembahasan ini. Dan yang rajih adalah seseorang boleh memilih posisi sujud sahwi sekehendak hatinya, sebelum salam atau setelah salam. [4]

Demikianlah pembahasan ini. Wallahu a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh Muhdarul Islami bin Syamsul Az-Zarnuji.

Maraji’ (Referensi) :

  1. Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhihu Madzahib Al-Aimmah. Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Cairo: Al-Maktabah At-Taufiqiyyah.
  2. Al-Fiqhul Muyassar fii Dhauil Kitab was Sunnah. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani.
  3. Al-Qaulul Mubin fii Akhtail Mushallin. Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman. 1437 H/2016 M. Cairo: Dar Ibni ‘Affan dan Riyadh: Dar Ibnil Qayyim.
Footnote :

[1] Al-Qaulul Mubin fii Akhthail Mushallin, Masyhur Hasan Salman, hal. 145.
[2] HR. At-Tirmidzi (397), Ibnu Majah (1209), Al-Hakim (1/325), dan Al-Baihaqi. Di dalam sanadnya terdapat ‘an’anah Ibnu Ishaq dan dia adalah mudallis.
[3] dinukil dari kitab Shahih Fiqhus Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (1/461-463).
[4] Al-Fiqhul Muyassar, Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, hlm. 452.